Ritual Adat Kayori
Sekian lama tak terdengar, beberapa
waktu lalu masyarakat sub etnis Pendau yang bermukim di kawasan Desa
Bayang, tepatnya di Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Bayang, Kecamatan
Dampelas, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, menggelar ritual Adat
Kayori. Ritual ini dimaksudkan selain untuk membangkitkan ingatan warga
di lingkungan tersebut akan adat istiadat yang ditinggalkan leluhur
mereka, juga dalam upayanya menangkal bencana yang belakangan marak
terjadi di berbagai belahan bumi Pertiwi. Yang cukup membuat salut,
persiapan seluruh kegiatan tak hanya dilakukan oleh etnis Pendau, namun
seluruh warga dari berbagai etnis.
|
Ketua Adat Dampelas, Basir Baco Taparang mengatakan, ritual adat
Kayori yang baru saja dilaksanakan oleh sub etnis Pendau, hanyalah
sebagian kecil dari sekian banyak warisan nenek moyang suku Pendau.
Menurutnya, etnis Dampelas terbagi atas empat sub etnis, yakni Dampelas,
Pendau, Lauje, dan Tajio. Lebih lanjut lelaki paruh baya yang telah
kehilangan kemampuannya untuk melihat setelah operasi katarak ini
menjelaskan, keempat sub etnis tersebut memiliki kekhasan pada bahasa
ibu yang mereka pergunakan.
”Seperti halnya etnis Kaili dengan sub etnis seperti Tara, Da’a, Ledo,” ungkapnya.
Ketua adat yang akrab disapa dengan nama Kai Basi ini
menuturkan, berbagai bencana yang menimpa masyarakat begitu beruntun dan
cukup merisaukan. Silih berganti meninggalkan nestapa dan lara yang
tiada kira. Bencana dipercaya dikarenakan oleh kemarahan leluhur yang
murka melihat generasi penerus mereka mulai melupakan adat istiadat yang
diwariskan. Padahal, menurutnya, ada tiga unsur aturan hukum yang
mestinya mengikat dalam masyarakat, yakni adat, agama, dan pemerintah.
Seperti menguatkan, sekretaris adat Dampelas, Yunus Lahamesang, menyebut
hukum yang paling jarang digunakan oleh masyarakat modern adalah hukum
adat. Sedangkan menurut Yunus pelaksanaan hukum adat terbukti telah
menciptakan masyarakat di masa lalu rukun dan tentram dalam kedamaian.
Yunus menuturkan, keadaan tersebut tercipta karena masing-masing
individu berusaha untuk menaati aturan adat yang ada karena mereka tak
menginginkan terkena sanksi sosial yang dampaknya justru lebih berat
dirasakan dibandingkan hukuman fisik. Yang lebih memprihatinkan buat
kedua pemuka adat tersebut adalah ketiadaan perhatian pemerintah akan
keberlangsungan adat mereka. Bahkan dengan sinis Kai Basi menyebut
ungkapan ”Tak ada suku terasing atau tertinggal. Karena yang ada,
menurutnya suku yang diasingkan atau ditinggalkan”.
Yunus mengaku, dirinya beserta seluruh peserta ritual adat tak bisa
memakai pakaian adat karena merasa tak mampu menyediakan. Dirinya
berharap perhatian pemerintah dapat menyentuh mereka, hingga di masa
mendatang masyarakat Pendau dapat memiliki bukan hanya pakaian adat
namun juga rumah adat. Yunus berharap agar setiap kegiatan yang
berhubungan dengan mereka bisa dilaksanakan di rumah adat, untuk selalu
mengingatkan warganya akan pentingnya melestarikan adat.
Ritual Kayori
Meski bukan satu-satunya etnis penghuni UPT Bayang, Ritual Kayori
dilaksanakan karena dari sekian Etnis yang ada, Pendau sebagai etnis
lokal belum pernah sekalipun menampilkan khasanah kebudayaan mereka
sebagai bagian keragaman kekayaan budaya yang dimiliki dataran Dampelas
itu.
Ritual yang dilaksanakan sekitar pukul delapan malam itu, diawali
dengan penabuhan rebana. Kali ini Kayori dilaksanakan untuk pengobatan
kepada salah seorang warga yang diperkirakan mendapat gangguan dari roh
jahat. Ritual dipimpin pemangku adat Pendau bernama Latalaha Manduping.
Dengan berkeliling pemimpin ritual mengimami barisan penyanyi
Kayori, menyenandungkan mantra, doa, dan pujian serta permintaan
kesembuhan dengan berbahasa Pendau bagi sang pasien. Pasien sendiri
didudukkan di tengah lingkaran penabuh rebana.
Sambil berkeliling, penyanyi Kayori membawa sonasi, nasi yang
dimasak dalam bambu, masyarakat luas mengenalnya dengan nasi bambu atau
nasi jaha. Senandung Kayori itu berisi penyampaian permintaan maaf
warga kepada leluhur, dan pernghormatan terhadap leluhur serta pemangku
adat mereka. Selain kepada leluhur, nyanyian permohonan maaf dan
pernghormatan tersebut juga ditujukan kepada masyarakat yang turut hadir
dalam ritual tersebut.
Ritual ini berakhir manakala matahari telah terbit di ufuk timur.
Syair yang tak mengalami perubahan sejak pertama kali diperdengarkan
tersebut, menurut pengakuan pemangku Adat berasal dari lantunan lagu
semacam nina bobo di masa dahulu. Meski demikian ternyata sebagian besar masyarakat Pendau sendiri tidak begitu mengenal nyanyian itu.
Sesaji untuk Leluhur
Usai penyajian Kayori pada malam hari, siang hari esoknya, ritual
dilanjutkan dengan permintaan maaf kepada para leluhur, di tempat-tempat
yang dipercayai sebagai tempat hunian ruh nenek moyang masyarakat
Pendau. Dengan sesaji dalam tiga ukuran, kecil, tanggung dan besar,
seluruh masyarakat menuju tempat yang diyakini menjadi bagian dari
tempat leluhur mereka tersebut.
Sesajian yang mencerminkan hasil tanah air leluhur di masa lampau
ditempatkan dalam wadah sejenis anyaman bambu beralaskan daun. Sonasi
yang telah dipersiapkan pada hari sebelumnya digelar bersama berbagai
jenis makanan tradisional dalam jumlah yang diperkirakan mencukupi
kebutuhan warga yang ikut. Tak ketinggalan beras aneka warna, potongan
daging ayam dan telur, sirih, tembakau serta koin kuno ditempatkan pada
nampan sajian terkecil ikut melengkapi.
Usai menyerahkan sesaji yang diletakkan di nampan terkecil di tempat
yang telah ditentukan, giliran sesaji pada nampan besar didoakan dengan
mantra sekilas mirip yang terucap pada ritual Kayori. Usai pembacaan
doa, tiap orang yang ikut bisa menikmati hidangan dari nampan dengan
syarat harus dihabiskan di tempat ritual, tidak boleh dibawa pulang
sedikitpun.
Untuk selalu mengingatkan, tempat ritual dengan radius 30 meter ke
setiap penjuru sebagai tempat bebas dari aktivitas kehidupan manusia.
Harapannya agar adat tetap lestari dalam setiap benak generasi penerus.
Begitulah cara masyarakat Pendau menghormati para leluhur. Masih banyak
adat istiadat lain juga memiliki cara masing-masing untuk menghormati
para leluhur. (p!)
* Sumber : http://www.panyingkul.com/view.php?id=1037&jenis=kabarkita |
Post a Comment