Menggagas (Seni) Tradisi di Era Masyarakat Modern
oleh Eko Nugroho, Sos. M.Si
PERDEBATAN tentang meresap dan mereduksinya nilai-nilai artisitik tradisonal yang menempatkan seni seni luhur berdampingan denang rangka budaya pop ramai dibicarakan. Baik dalam teori dan kajian seni positifistik ataupun teori-teori sosial kritis. Theodor Adorno memberikan sebuah sinyalemen awal antar hubungan eksitensi seni tradisonal yang dikategorikan sebagai relic budaya tinggi dengan budaya rendah atau budaya pop. Yang kemudian dalam perkembangan kajian selanjutnya ini diikutkan pada pembicaraan bahwa popularisasi budaya menghadirkan sebuah definisi baru dari seni tradisional. Sebuah keramaian baru dipanggung-panggung atau pun kanvas, ataupun pakeliran. Bentuk-bentuknya adalah wajah yang kita” merasa kenal’ tetapi itu adalah sebuah keasingan bagi kita sendiri. Sampai kita memberikan sebuah label tentang tradisional ataupun modern. Dan begitulah sejarah narasi kita bicara tentang ruang seni, Bahwa klaim tentang ruangn-ruang seni dipengaruhi secara langsung oleh trend yang dibentuk oleh permainan seni itu sendiri sebagai komoditas sosiologis. Yang mengikuti kehidupan manusia dari waktu ke waktu, Menghasilkan suatu kontinum dan atau melahirkan sebuah klaim baru dari bentuk-bentuk materinya.
Dalam hal ini timbul pertanyaan apakah seni modern kemudian telah menterjemahkan kembali identitas seni tradisional ataukah modernisme justru memutuskan simbol-simbol identitas tersebut dan mereduksinya dalam sebuah pastiche yang kosong atau tertawaan ironi dalam parodi kebudayaan yang telah keluar dari ruang kesenian menjadi sebuah pengejawantahan kericuhan dalam kehidupan simbolis atau dalam simbolisme kehidupan itu sendiri.
Dikotomi seni tradisional dan seni modern ini adalah sebuah diskursus ideologis sekaligus sebuah diskursus identitas. Sebagai diskursus ideologis maka seni tradisional adalah sebuah alenisasi bagi sebuah kesenian yang mengakar sebagai narasi dan mitologi suatu bangsa yang dianggap sebagai sebuah “native activity” yang juga bisa diartikan sebagai sebuah “tribal action”. Bila dilihat tema ini adalah sebuah konotasi dalam diskursus seni. Yang menempatkan aktivitas budaya lokal dan orsinil itu sebagai sebuah budaya yang tersingkir dalam panggung modernisme. Dimana seni tradisional dianggap sebagai out of civilization dan merupakan peradaban kelas dua. Ini artinya seni tradisional dimana terdapat narasi identitas didalamnya dikesampingkan atau teraleniasi dari posisinya, diganti dengan sesuatu yang lain yang meng-subordinan’kan eksitensi budaya suatu komunitas. Ini adalah gejala ideologis yang berekses pada positioning suatu sikap dan keprcayaan orang terhadap suatu materi seni tersendiri yang berakar juga pada bentuk-bentuk supremasi diskursif dari kekuasaan tertentu yang menempatkan budaya tertentu dalam mekanisme hegemoni budaya. Misalnya ketika ludruk atau lenong sebagai bentuk budaya tradisional dianggap sangat ’tradisional’ dan relic ketimbang misalanya sitcom atau-pun opera di tv yang berasal dari akar budaya lain( western dan Amerika).
Sebagai diskursus identitas Ketika elemen dari seni tradisional direduksi menjadi sebuah fragmentasi yang lepas dari narasi budaya yang berisi identitasnya. Pada saat itu juga seni tradisional telah menjadi kosong tanpa pesan apapun. Di garis yang paling jauh mungkin kita menemukannya dalam potongan-potongan konstruksi budaya pop yang bertujuan bukan sebagai pewarisan nilai-nilai luhur tetapi sebagai komoditas tontonan dan hiburan semata dan tujuan seni bukanlah untuk itu pada dasarnya seni adalah kegiatan luhur yang bergerak untuk perubahan. Namun dalam masyarakat tontonan dan masyarakat konsumsi seperti di utara’kan Guy Debord dan Baudrillard maka elemen ideal seni termasuk seni tradisional telah direduksi menjadi simbol yang ditonton atau dengan tujuan hanya enak ditonton secara dominan sebagai hiburan, hanya mengisi hasrat tontonan meski tidak tahu itu simbol bertujuan atau bermakna apa hanya memenuhi hasrat rendah hiburan dan ekstasi dari manusia itu sendiri. Tanpa makna dan begitu saja. Sehingga identitas menjadi tak terbaca dan tak terlihat bahkan lebih parah lagi identitas dalam symbol-simbol itu dicabut dan dikeluarkan identitias lain yang bahkan tidak berakar pada manusia dan budaya-nya sendiri. Hanya identitas pengikut. Boleh dikata dalam terminology marx identitas buruh.
Intertekstualitas dan Seni Tradisional
Budaya tidaklah dihasilkan dari sumber tunggal tetapi budaya adalah sebuah bangunan konstruksi teks-teks yang dibuat manusia sebelumnya. Menurut Bakhtin inilah yang disebut heteroglosia, sebuah ujaran yang dibangun oleh ujaran lain dari masa lalu dan digunakan untuk bicara tentan sesuatu.
Seni tradisional sebagai bentuk seni asli komunitas yang lahir dari kesejatarahan dan kehidupan sehari-hari semata-mata dibentuk oleh kekuatan intertekstual masa lalu yang selalu di jadikan sebagai sebuah ukuran estetis kultural. Dan ini meghasilkan sebuah materi-materi yang tersusun atas narasi tradisi yang lahir dan berkembang dan dilestarikan oleh suatu bangsa dan komunitas dalam kurun waktu yang cukup lama.
Seni tradisonal dalam era modern hadir bukan sebagai fungsi dan makan awal nya diam selalu. Semua direduksi menjadi tontonan. Semua di ekstrasikan kedalam materi-materi yang, bentuk sebuah entitias baru. Sebuah pastiche atau parodi. Sebuah sosok yang dilahirkan dalam ruang ruang fragmentasi dan terkadang banyak diantaranya adalah sebuah tuturan ironis. Sehingga kita bertanya-tanya pakah intertekstual yang alami ini akan menghilangkan nilai luhur didalamnya. Untuk itu mungkin ungkapan foucalt ada benarnya bahwa sejarah bentuk makna dari symbol. Re-definisi dan reduksi budaya tradisional esensinya adalah mengilangkan makan bukan menghilangkan bentuk. Banyak diantara elemen seni tradisional yang dikososongkan dari bentuk awalnya dan dikonstruksi menjadi sosok baru yang sedikit banyak tidak kita kenai dan itu meng-aleniasi kita dari identitas kultural kita secara alam dan mengatakan sebuah klaim diskursif tentang seni modern itu sendiri.
Langkah-langkah di antara jejak-jejak budaya
Seni tradisi mungkin adalah warisan budaya namun dalam relitasnya seni itu hanya jadi jejak budaya dan pertanyaan-nya jejak-jejak ini bagaimana harus dimaknai. Dan kemudian bagaimana mengakses jejak etika itu kebelakang dan menggali informasi darinya untuk sebuah konstruksi kehidupan kedepan. Sepertinya itu yang harus dilakukan penggiat pengkaji seni tradisional.
Bukan hanya melihat semua hilang. Tetapi mengumpulkan jejak-jejak yang berserak itu dan memperkecil resapan budaya dalam sejarah adalah usaha yang dibutuhkan. Usaha terkait bebrapa hal pertama konservasi, dengan membuat sebuah perawatan budaya dan busana ini dalam miniatur-miniatur atau klip-klip yang kemudian tidak menjelaskan secara utuh catatan-cataan tentang seni tersebut kedua pengkajian ini adalah usaha mepertemukan generasi yang akan datang dan masa lalu dalam kode-kode ilmiah yang dikonstruksi ulang dengan pekmakan’an yang mungkin berubah. Setidakanya bisa menjelaskan noktah-noktah relitas sebelum terdekonstruksi seluruhnya.
Men’sesuaikan sebagai pelaku utama seni tradisional ini adalah elemen penting apakah kemudian in bisa di-utilisasi dengan tepat atau ini hanya sekedar tontonan. Namun apapun itu seni tradisioanl adalah sebuah simbol identitas dan eksitensi suatu bangsa atau komunitas. Sehingga sebaiknya kalau memang tidak dimaknai sesuai peruntukanya paling tidak tertinggal sebuah jejak untuk langkah-langkah selanjutnya. Maka terus membuat, berbuat sehingga masyarakat menjadi konsumtif terhadap budaya lokal serta menjadi identitas yang selalu melekat pada kehidupannya, cap yang membanggakan bagi bangsa besar ”Indonesia Raya”. Usung identitas Budaya kita. Gagas. ***
(Ini merupakan hasil diskusi "Menggagas (Seni) Tradisi di Era Masyarakat Modern" dengan pembicara Eko Nugroho, Sos. M.Si (Peneliti Budaya dan Komunikasi) dan Ananta O’Edan (Perupa & Pengamat Seni Tradisi) pada hari Sabtu, 16 Februari 2013 di JOGLO AESTHETIC’S, Jakarta Barat).
*) Peneliti Budaya dan Komunikasi
Source : http://www.indonesiaartnews.or.id/newsdetil.php?id=371
Post a Comment