KONFLIK BUNYI DI TANAH AGRARIS
KONFLIK BUNYI DI TANAH AGRARIS
Catatan Dari Pertunjukan “ Huru Ha Raego ” karya : Izat Gunawan
Pada Hari Selasa 4 september 2012 Di soki pompevayo,
Desa Kotapulu Kecamatan Dolo. Sulawesi Tengah Indonesia.
Salah Satu Aktor Pertunjukan Huru Ha Raego |
Trans Palu-Kulawi di padati
oleh kendaraan yang laju lalu-lalang, dari kejauhan terlihat sebuah Obor berdiri di ujung jalan soki pompevayo, obor di pinggiran jalan
menuntun penonton dari luar desa menuju ke arena pertunjukan yang terletak di
sebuah kebun yang di penuhi oleh tumbuhan cokelat, pisang, bambu dan tumbuh-tumbuhan
lainnya. Hanya ada beberapa lampu yang menyala sehingga sebagian area kebun itu
terlihat sangat gelap, Dari dalam kegelapan terdengar bisik-bisik penonton, dan
beberapa orang yang menuntun penonton ke tempat duduk.
Setelah semua lampu di
sekitar kebun di padamkan di mulailah pertunjukan dengan sorotan LCD Proyektor
yang di sorot ke kain putih sepanjang 8
meter, yang di bentangkan diantara pohon-pohon cokelat yang tengah berbuah. Tergambar
nyala api pada Screen LCD,terlihat lighting pertunjukan dan Mic di gantung pada
batang-batang pohon cokelat, menyorot/mengarah pada kolam buatan seukuran 8X6
meter dengan tinggi air di bawah lutut , yang di letakan tepat di depan Screen
LCD. Suasana Hening, terdengar suara jangkrik ,kodok , riak air kolam yang
tertiup angin dan ditambah rekaman suara api yang membara. Kebun itu di
sulapnya menjadi arena pertunjukan Huru
Ha Raego. Element api, air, dan angin menyatu di awal pertunjukan.
“ Di atas Sekerat tanah yang sekarat, ada
Semburat api yang lewat,di lumatnya suara itu bulat-bulat “. Adalah kalimat
yang di suarakan oleh Izat Gunawan, kalimat itu di ulang-ulangnya sampai pada
tekanan suara yang terasa sangat menyedihkan. Setelah ia selesai dengan kalimat itu, di bawah pepohan lainnya
beberapa orang secara tiba-tiba menyalakan Obor, kemudian berjalan mengendap-endap
dan sahut-menyahut “hi ya Huo Hae hoaa, hi
ya Huo Hae hoaa, hi ya Huo Hae hoaa” . suasana yang tadinya terasa
menyedihkan berubah menjadi suasana mencekam, dengan terdengar sahutan-sahutan
dari kejauan yang lama kelamaan semakin mendekati kolam.
Paruja adalah suatu bentuk
musikal dalam proses kerja petani, mengolah lahan sawah basah dengan
menggunakan kerbau. Sebut juga bunyi-bunyian
yang terdapat dalam Upacara Vunja yang merupakan sebuah upacara adat yang menunjukan betapa
hormatnya manusia kepada alam, ataupun Raego
sebagai tanda ungkapan rasa syukur, kesedihan, kegembiraaan, sampai pada
kematian. Interaksi bunyi yang terjadi atas
alam pada manusia, manusia pada alam, manusia pada manusia,
menggambarkan sebuah keharmonisan yang lahir dan tumbuh sejak lama kemudian
telah menjadi simbol tersendiri bagi masyarakatnya namun tetap memiliki nilai
universal di dalamnya.
Wujud Transformasi
Nilai Kearifan Lokal
Oleh Izat Gunawan dalam pertunjukannya, Kearifan Lokal tersebut
di kemas tersendiri, ketika bunyi-bunyian yang lahir dari harmonisasi alam dan
manusia itu di garap kedalam bentuk komposisi bebas struktur. Bunyian yang
hadir, mulai dari nyayian raego yang meledak, nyayian seorang anak perempuan yang
kental dengan dialek Ado Suku Kaili,
bunyi aluminium, bunyi cambukan-cambukan, Bunyi lalove, Drum air yang di hantam, teriakan ,tangis, langkah diatas
air, sampai pada suara hewan malam di diarea kebun tempat pertunjukan Huru
Ha Raego, hal-hal itu memberikan pengalaman yang tidak biasa, yang pada
kenyataannya adalah menyatukan antara Ruang Kehidupan masyarakat agraris dan konflik
bunyi yang di hadirkan para pemain. Hal tersebut terasa ketika beberapa orang
dengan kostum petani yang menutup wajah mereka dengan sarung memasuki kolam, mendominasi
arena pertunjukan, terlihat beberapa orang menjadi statis dari kegiatan
membunyikan langkahnya di atas kolam air. Telinga penonton di penuhi bunyi benturan,
gesekan, hantaman, dan bahkan sesekali seperti tembakan, tergambarlah
pertikaian di benak, penonton dapat merasakan konflik itu, ketakutan, dan
kengerian pada masyarakat agraris, dimana Sawah ladang mereka yang biasanya
adalah tempat untuk orang bertani, berubah seketika menjadi arena pertarungan. keharmonisan
Interaksi bunyi antara manusia dan alam berubah menjadi konflik bunyi dari
manusia-manusia yang menebarkan Kengerian,kesedihan, dan ketakutan.
Pertunjukan malam itu
terdapat beberapa hal yang sebenarnya masih dapat di explorasi secara maksimal. Sound system dan ligthing menjadi
persoalan pada beberapa bagian pertunjukan, mixing sound system sudah
semestinya mempertimbangkan persoalan atmosfer arena pertunjukan, dan dari instrument
atau benda-benda yang levelitas bunyinya
rendah, gerak pemain menjadi sangat penting ketika pada gerak tubuh itu di
lekatkan symbol-symbol , sudah semestinya permainan lighting di optimalkan,untuk
memfokus bentuk-bentuk yang di hadirkan.
Di beberapa bagian
pertunjukan, bentuk dan tempo gerak di dalam kolam juga perlu di pertimbangkan,
dasar kolam yang licin membuat para pemain kelihatan khawatir dan sangat
hati-hati dalam bergerak, selain itu sempat terjadi kehilangan fokus oleh
pemain yang menyebabkan putusnya suasana yang dibangun, untungnya dapat segera
di atasi dengan improvisasi dari pemain itu sendiri. Permainan bunyi dari
kostum plastik yang di gunakan perlu menjadi bahan eksplorasi, juga daun kering
yang secara tidak sengaja jatuh di dalam kolam memberikan efek yang natural dalam
pertunjukan , sebab dalam komposisi Huru
Ha Raego malam itu terjadi beberapa pengulangan bentuk komposisi, hal itu
adalah salah satu masukan dari penonton yang di sampaikannya pada sesi diskusi.
Pada bagian akhir pertunjukan para pemain menyudahi pertikaian
Bunyi dengan melakukan kembali gerak dan vocal Raego , akan tetapi dengan berbagai perasaan dan suasana yang telah
bercampur baur, mereka terlihat mencoba merekonstruksi kembali keharmonisan bunyi antara Alam Raya dan Manusia,
Namun sebelum keharmonisan itu tercipta, Para pemain telah statis dan lampu
pertunjukan telah padam, Tak terasa waktu berlalu ± 1 jam 15 menit.
Pertunjukan pun berakhir, yang kemudian dilanjutkan dengan
sesi diskusi. Seluruh lampu di area itu di nyalakan,sungguh di mengagetkan
ketika terlihat ± 200 penonton mengelilingi ,tempat pertunjukan, penonton malam
itu terdiri dari berbagai kalangan, baik warga masyarakat desa itu sendiri,
Orang tua ,anak-anak , remaja , sampai pada akademisi, mahasiswa, dan beberapa
orang dari pihak pemerintah setempat. Seorang ibu warga desa setempat memberikan
komentar bahwasanya, pertunjukan itu telah memberi dampak yang cukup baik bagi pemuda-pemuda desa yang terlibat pada
proses Huru Ha Raego.
Moh Izat Gunawa (Pengkarya) |
Post a Comment