Yang Hilang di Tanah Dampelas
Oleh : Adha Nadjemuddin
Sumber : adhanet
Photo By : Asphandi |
Soso itu diarak warga dari ujung kampung ke tengah gegap gempita manusia yang berkerumun menyaksikan pembukaan Fetival Danau Dampelas II, 18 Desember 2010.
Soso, begitu masyarakat Dampelas menyebutnya. Di kalangan orang Bugis menyebutnya walasuji. Bentuknya seperti miniatur kuba masjid segi empat. Rangkanya terbuat dari bambu. Dindingnya juga terbuat dari sulaman bambu. Karena bambu kian sulit diperoleh, diganti dengan kertas. Di tengahnya berdiri tiang dari batang pisang, dibungkus kertas warna sehingga menarik dipandang mata. Di tiang itulah ditancapkan telur ayam yang sudah dimasak. Telur itu bergantungan dilengkapi aneka kertas warna-warni berbentuk bendera. Kertas-kertas itu digunting sedemikian rupa sehingga pinggirnya tampak berbunga. Cukup sulit mengerjakannya.
Di dalam soso terdapat bungkusan nasi ketan. Dibungkus daun pisang. Di dalam bungkusan itu juga terdapat telur. Semasa kecil saya dulu, saya kerap melihat soso meramaikan hari Maulid Nabi Muhammad saw di masjid-masjid. Tak lengkap rasanya jika Maulid Nabi tidak dilengkapi dengan soso. Bila imam masjid sudah selesai membaca barzanji dan doa-doa, seluruh isi soso kami perebutkan. Ada semacam berkah tersendiri jika kita berhasil merebut dan menikmati bagian dari soso itu. Benda inilah yang diusung belasan orang pada Festival Danau Dampelas, sebagai simbol dari keragaman suku bangsa yang mendiami wilayah Dampelas. Soso adalah salah satu tradisi masyarakat Dampelas khususnya setiap menyambut Maulid Nabi Muhammad.
Budayawan Hapri Ika Poigi berpendapat bahwa warna-warni dalam soso itu menunjukkan keanekaraman budaya Dampelas, namun tetap menjadi satu kesatuan yang harmonis. Dampelas sangat mengenal pluralisme dan religius dalam melestarikan tradisi bernafaskan Islam.
Hapri mengatakan, soso tersebut sengaja dimunculkan kembali pada Festival Danau Dampelas karena sudah nyaris punah. Tak ada lagi soso setiap memperingati Maulid Nabi. Sebagai gantinya, panitia biasanya menyiapkan hiburan elekton dengan lagu-lagu bernafaskan Islam. Soso mulai tergusur, jauh ditinggal ke belakang sebagai akibat dari lajunya perubahan budaya di kampung-kampung tak terkecuali di Dampelas.
Dampelas adalah satu suku bangsa yang memiliki bahasa dan adat istiadat yang mendiami sebagian wilayah pantai barat, Kabupaten Donggala, yang terbentang dari Kecamatan Dampelas hingga Dampal. wilayah ini terletak di bagian utara Kota Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah. Jarak tempuhnya sekitar 150 kilometer dari Palu atau 2,5 jam dengan kecepatan rata-rata 40 kilometer per jam.
Adat dan Lingkungan
Seremonial Festival Danau Dampelas II pada 18-21 Desember 2010 tidak sekadar gagah-gagahan semata atau sekadar eksplorasi budaya lokal. Festival itu memiliki roh, salah satunya dengan mengusung misi air dan tanah untuk bumi. Misi tersebut sangat penting terhadap kelestarian alam serta terkait dengan kepentingan dunia internasional dalam rangka menekan pemanasan global. Harus disadari bahwa saat ini telah terjadi problem keseimbangan lingkungan akibat pemanasan global. Festival tersebut kemudian di desain sedemikain rupa yang tidak saja merevitalisasi kebudayaan lokal tetapi juga menumbuhkan kesadaran lingkungan bagi masyarakat.
Budayawan Hapri Ika Poigi mengatakan, salah satu kekayaan lokal di Dampelas adalah danau Dampelas. Danau ini memiliki sejarah mitologis yang terkait erat dengan kebudayaan lokal sehingga perlu dipertahankan kelestariannya. Danau tersebut harus tetap lestari dari ancaman kekeringan akibat pembabatan hutan. Akibat banyaknya jumlah manusia dan makin sempitnya lahan sehingga berpotensi mengancam lingkungan sekitar danau. Salah satu wujud dari upaya merawat lingkungan tersebut, masyarakat adat Dampelas yang mendiami wilayah Kecamatan Dampelas menggelar ritual di mata air Ogo Dampelas, Desa Sioyong. Ogo dalam bahasa Dampelas artinya air. Pelaksanaan ritual dilakoni oleh tokoh adat dan diikuti oleh masyarakat setempat. “Ritual ini tujuannya untuk menumbuhkan kearifan lokal dalam menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan,” kata Hapri. Dia berharap dengan ritual adat tersebut bisa membangkitkan kesadaran masyarakat agar terus tumbuh dalam menjaga lingkungan khususnya di sekitar danau Dampelas.
Pembukaan Festival Danau Dampleas juga menampilkan sendratari ritual bertemakan tanah dan air untuk bumi secara kolosal. Tari yang digarap Hapri dan Emhan Saja melibatkan pelajar Desa Talaga dan Sabang. Inti pertunjukan menceritakan asal-mula terjadinya Danau Dampelas yang diawali pertempuran Sawerigading (Emhan Saja) dengan Mahadia Dampelas (Irwan Pangeran), namun akhirnya melakukan perdamaian. Berawal dari situlah tercipta kekerabatan dari berbagai kelompok yang disebut sasio atau sembilan kekerabatan Dampelas.
Sumber : adhanet
Post a Comment