Dadendate: Nyanyian Tanah Kaili Yang Terancam


Dadendate merupakan kesenian asli masyarakat Desa Taripa (Etnis Kaili dialek Rai). Dadendate sendiri terdiri dari dua kata yaitu ”dade” dan “ndate”. Di mana, dade berarti lagu, sedangkan ndate dalam pengertian bahasa Kori seperti berikut ini: Misalkan seseorang berada di kaki bukit atau gunung. Ketika ditanyakan hendak kemana, maka bila dijawab Ndate berarti di atas bukit sana atau ia akan melakukan perjalanan dengan menaiki atau mendaki bukit itu sampai tujuan. Jadi Dadendate artinya lagu yang mengisahkan suatu dari bawah ke atas. Apa yang diuraikan (diceritakan) dalam syair lagu Dadendate sifatnya menanjak dan menuju ke puncak. Bila dia menceritakan sesuatu, selalu dari awal sampai akhir cerita tersebut.

Dadendate merupakan bagian dari kesenian tradisional. Kesenian dalam pengertian sehari-hari berhubungan dengan produk nilai keindahan (estetika) dari umat manusia yang meliputi seni sastra, seni rupa, seni pertunjukan, dan seni rekam berupa produk teknologi mutakhir seperti film dan televisi. Namun dalam pengertian yang lebih luas kesenian juga mencakup segala produk kebudayaan sebagai hasil dari peradaban manusia. Dengan melihat pengertian kesenian tersebut, maka sejarah kesenian manusia Indonesia tentu memiliki akar dan riwayat tersendiri yang dapat dipandang sebagai bagian dari sejarah kesenian tradisional dengan argumentasi yang bertolak dari asal usul manusia Indonesia itu sendiri.


Berdasarkan penjelasan di atas, maka Dadendate merupakan kesenian tradisional masyarakat etnis Kaili yang memiliki akar dan riwayat tersendiri. Dari data yang kami peroleh, sejarah Dadendate, berawal dari Kimba a yang masih berupa doa-doa/syair-syair ritual orang tua dulu, di mana berbentuk uraian dan masih bersifat individual. Kemudian dalam kurun waktu yang cukup jauh berubah lagi menjadi Dulua. Dibanding Kimba a, Dulua sudah berbentuk lagu/nyanyian seperti Nopalongga (nyanyian menidurkan anak yang dilagukan ibunya dimana terkandung doa dan keselamatan yang ditujukan kepada wajah sang anak yang sedang berlayar mencari ikan). Kimba a dan Dulua belum menggunakan alat kecapi, masih berbentuk musik vokal semata. Dari Dulua, bentuk kesenian ini berubah lagi menjadi Bola-Bola.

Perubahan yang menonjol adalah syair yang dibawakan tidak lagi berupa syair ritual, tetapi sudah menjadi syair yang lebih bersifat umum, seperti syair muda-mudi dalam acara memetik padi dan telah menggunakan kecapi. Tepatnya ketika orang mengambil waktu untuk istirahat. Kecapi digunakan sebagai pengantar dan perantara syair-syair yang digunakan (biasanya antara dua kelompok muda-mudi yang menggunakan sebagai lagu sebagai sarana komunikasi). Bola-bola dimulai oleh solo vokal dan diikuti lainya. Ketiga bentuk kesenian ini masih bahasa Kori, induk dari bahasa Kaili Rai dan Bare’e.

Rampamole (pengenduran senor/tuning) adalah bentuk selanjutnya dari kesenian ini. Mulai dari Rampamole dan seterusnya sudah menggunakan bahasa Rai. Pada fase ini telah menggunakan kecapi bersamaan dengan nyanyian yang hampir mendekati Dadendate. Rampamole sendiri berarti dikendurkan, atau diperkecil suaranya. Tidak terlalu lama dalam fase ini berubah lagi menjadi ciri-ciri yang ciri utamanya menjadi lebih panjang. Pada fase ini, kesenian ini juga menyebar ke wilayah-wilayah lain sampai ke Toli-Toli (salah satu kabupaten di Sulawesi Tengah). Pada kenyataannya, saat zamannya kesenian ini amat disukai oleh para muda-mudi.

Kurang lebih sekitar tahun 1952-1953 berubah menjadi Dadendate. Inilah bentuk terakhir dari kesenian ini. Kesenian ini merupakan kesenian khas dari daerah Sindue yang sekaligus kebanggaan mereka. Mereka berpendapat bahwa keseniaan ini hanya terdapat di Desa Taripa Kecamatan Sindue dan tidak ada di daerah lain. Kalaupun ada, masih di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah, dan itu berasal dari Desa Taripa yang dikembangkan di daerah lain.

Dadendate sendiri merupakan seni tradisonal yang memadukan teknik bertutur atau bercerita dalam bahasa Kaili (dialek Rai) yang syarat dengan keindahan nilai sastranya, dengan diiringi instrumen tradisional, asli masyarakat Kaili. Instrumen tersebut hanya terdiri dari dua alat musik yaitu mbasi-mbasi dan kecapi. Mbasi-mbasi merupakan alat musik tiup yang terbuat dari bambu dan rotan dengan panjang kurang lebih 20 cm. Alat musik ini memiliki ciri khas yang unik, dan perlu menggunakan teknik tertentu dalam memainkannya. Sedangkan kecapi yang dimaksud ialah alat musik petik yang hanya memiliki dua tali senar yang terbuat dari kayu Lengo atau Balaroa. Sedang senarnya dulunya menggunakan tali enau, namun sekarang banyak yang menggunakan kawat kecil yang terbuat dari baja atau tali labrang rem sepeda. Bentuk dari kecapi ini syarat dengan nilai sejarah. Bentuknya yang mirip kapal, diartikan sebagai representasi dari kapal milik legenda Sawerigading, (nenek moyang masyarakat Kaili yang sampai di tanah Kaili dengan menggunakan kapal).

Keunikan dari Dadendate ialah syair dalam kesenian ini dilantunkan secara spontan, tanpa menggunakan teks atau dikonsep terlebih dahulu. Kesenian ini bisa berlangsung cepat, dan bisa berlangsung sampai berhari-hari tergantung permintaan. Keseniaan ini dilaksanakan dalam acara-acara adat, syukuran, dsb. Dalam acara syukuran, dadendate sering tampil dalam acara syukuran atas rumah baru, seseorang yang telah menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi, hasil panen yang melimpah, dan sebagainya.

Kesenian ini memiliki pemain, minimal tiga orang dan maksimalnya tidak terbatas. Jika di mainkan oleh tiga orang, maka dua orang menjadi pelantun syair-syair, di mana salah seorang dari pelantun tersebut sambil bermain kecapi. Sedangkan satu orangnya lagi menggunakan alat musik mbasi-mbasi. Dari hasil wawancara yang kami lakukan, kelompok kesenian dadebdate tersebut terdiri dari 6 orang, akan tetapi yang sering tampil yaitu 4 orang. Dua pelantun, satu pemain kecap, dan satunya lagi peniup mbasi-mbasi. Namun pada dasarnya harus ada dua orang pelantun, dan yang memainkan alat musik tradisional kecapi dan mbasi-mbasi.

Para pemain tersebut terdiri dari laki-laki dan perempuan. Perempuan selalu menjadi bagian pelantun syair-syair, namun tidak menuntut kemungkinan sambil bermain kecapi. Para pelantun tersebut berbagi peran, ada yang melontarkan pertanyaan dan ada yang menjawab pertanyaan. Sahut-sahutan sampai semuanya terceritakan dalam kesenian ini, maka tidak menuntut kemungkinan sampai berhari-hari. Jika dadendate di undang dalam acara syukuran atas selesainya seseorang dari perguruan Tinggi atau universitas, maka orang tersebut diceritakan dari awal menempuh pendidikan sampai meraih gelar sarjana. Apa halangan dan rintangan, prestasi, dan segala hal yang berkaitan dengan hal itu, bahkan termasuk dana yang dihabiskan selama menjalani pendidikan. Tak jarang orang-orang yang hadir dalam acara tersebut juga ikut diceritakan dalam kesenian ini.



Kesenian yang sangat indah ini, merupakan kesenian yang tidak mudah untuk dilakukan. Para pelantun harus bisa menceritakan dengan baik secara spontan suatu masalah atau peritiwa. Pemilihan katanya juga tidak sembarangan, menggunakan kata-kata dalam bahasa Kaili yang memiliki nilai sastra yang tinggi atau kata-kata dengan makna yang halus. Cara memainkan alat musik kecapi pun tidak semudah yang kita bayangkan. Apalagi untuk alat musik mbasi-mbasi, perlu teknik khusus dalam memainkannya. Sebab alat musik ini harus ditiup terus menerus tanpa terputus. Maka teknik mengambil nafas menjadi kunci utamanya.

Saat ini yang menjadi pelaku kesenian dadendate ialah Usman La Djaja (adalah seorang peniup mbasi-mbasi) dan kawan-kawan. Di mana, untuk tingkat lokal, ia dan kawan-kawanya, sudah tidak dapat lagi menghitung berapa kali telah melakukan pertunjukan. Karena telah sering di undang dalam berbagai event kebudayaan yang diselenggarakan Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah maupun Pemerintah Kabupaten Donggala. Untuk tingkat nasional, mereka telah melakukan pertunjukan di beberapa kota besar di Indonesia. Seperti di tahun 1999 pernah melakukan pertunjukan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Di tahun 2000 melakukan pertunjukan di Jogjakarta, tahun 2006 di manado, dan baru-baru ini tahun 2009 di Lampung.

Namun, miris jika melihat relaitas yang akan terjadi pada kesenian ini. Kesenian yang telah diwariskan dari generasi kegenerasi, hingga bisa bertahan sampai sekarang, mulai terancam keberadaannya. Genarasi yang sekarang, bisa dikatakan telah sukses membawa kesenaan ini kepuncak ketenaran. Mereka telah berhasil membuat kesenian ini dikenal di daerah lain. Sudah beberapa kali mereka telah melakukan pertunjukan di daerah lain. Tentu saja hal tersebut menunjukan perjuangan para orang-orang tua terdahulu tidak sia-sia. Bahkan saat ini mereka tersenyum, namun hanya untuk sesaat. Senyum itu akan segara hilang, saat mendengarkan pernyataan generasi muda di Desa Taripa yang menyatakan ”malu menjadi bagian dari kesenian indah ini. Mereka lebih senang bernyayi di deker dengan, menggunakan gitar sampai tengah malam” tutur Usman Lajaja saat kami temui dirumahnya. Hal tesebut tebukti saat kami menanyai beberapa orang pemuda di Desa Taripa. Mereka menyatakan tidak tahu bagaimana kesenian dadendate. Dalam hal ini memainkan alat musik dan melantunkan syair-syair.

Tidak hanya itu, penyebab kesenian ini mulai terancam juga dari pemerintah daerah yang terkesan tidak peduli. Seperti yang diberitakan pada salah satu surat kabar lokal di kota Palu, yang menulis: ”Dadendate Terancam Punah, Pemerintah Kurang Perhatian” (Media Alkhairaat/14-10-2009). Di mana hingga saat ini belum ada pembinaan yang dilakukan terhadap generasi muda di Desa Taripa mengenai kesenian dadendate. Pemerintah seakan tidak peduli dengan kelestarian kesenian ini. Belum lagi, dari pengamatan langsung yang kami lakukan, bahwa desa tersebut telah berubah menjadi desa global. Di mana media massa (televisi) telah merajalela. Parabola-parabola telah terpasang di rumah-rumah penduduk. Walaupun kami belum melakukan survei terhadap pilihan program siaran, namun kami yakin masyarakat desa pada umumnya lebih memilih program televisi seperti sinetron, infoteimen, dan sejenisnya.

Efeknya, tentu saja televisi berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat. Di mana masyarakat (generasi muda) menerima kebudayaan-kebudayaan baru yang berbeda dari kebudayaan tradisional miliki desa tersebut. Dan celakanya generasi muda tidak dapat memfilter kebudayaan tersebut, sehingga kecenderungan untuk meniru tidak dapat dicegah. Efek nyata yang bisa dilihat ialah, tidak adanya generasi muda yang peduli terhadap kesenian dadendate. Dengan demikian cepat atau lambat, tapi pasti kesenian ini akan hilang. Maka, ”Dadendate: Nyanyian Tanah Kaili Yang Terancam” benar adanya.


Sumber : http://bakubagiinfo.blogspot.com/2011/11/dadendate-nyanyian-tanah-kaili-yang.html