Menimbang Lapuk, Menimang Kusuk
|
12 February 2012
Tiba-tiba lampu kembali dinyalakan di atas pentas. Menerangi sebuah “rumah” kelas pekerja yang sederhana. Satu set meja tamu dan kursi terletak di tengah ruangan. Agak menjorok ke belakang di sayap kanan panggung terlihat satu set perangkat memasak seperti kompor, rak bumbu, beberapa buah teflon tergantung di dinding, pisau dapur, dan sebagainya yang menandakan ruang kecil itu adalah dapur. Dua kain pintu terpasang rapi yang menandakan dua pintu kamar tidur. Di dinding triplek rumah itu terlihat dua poster menempel, pada dinding itu juga terdapat coretan khas tangan anak kecil, yang barangkali itu adalah coretan dindingnya Bening (Shindi Melun), gadis cilik yang akan masuk sekolah dasar pada tahun ajaran baru ini. Di rumah ini Bening tinggal bersama dua kakaknya; Yoga (Dirga RE) dan Sasa (Emilia Dwi Amoi), serta seorang Etek (Della N) saudara perempuan ibu yang menanggung kehidupan tiga kemenakannya. Sementara adik Etek atau ibu kandung Yoga (dan kedua adiknya) telah berpulang lebih dulu karena sakit. Tidak disinggung dimana keberadaan ayah selama pertunjukan berlangsung, bisa jadi hal ini disebabkan oleh keinginan penulis naskah sekaligus sutradara pertunjukan ini untuk lebih menonjolkan sosok perempuan tangguh, dalam hal ini Etek, sehingga keberadaan ayah tidak perlu dihadirkan ke dalam teks apabila dirasa hanya akan menjadi komponen yang sia-sia, baik secara teks naskah maupun teks panggung.
Cerita berawal dari sebuah pagi yang indah dalam keseharian keluarga minang perantauan di ibukota Jakarta. Kebahagiaan di pagi itu terlihat dari betapa cerianya Sasa dan Bening menyambut pagi sambil bernyanyi dan menari sebelum mereka akhirnya pergi ke sekolah. Tidak berapa lama kemudian dari kamar keluar Yoga yang juga akan keluar rumah, tapi bukan untuk bekerja, sebab ia sudah beberapa kali memutuskan hubungan kerjanya dari beberapa perusahaan yang ia rasakan sangat tidak adil dalam pembagian upah kerja bagi karyawan-karyawannya. Perusahaan hanya memikirkan bagaimana mendapatkan laba besar tanpa mempedulikan kesejahteraan karyawan. Kasus seperti ini jamak terjadi bahkan hampir terkesan klise sebenarnya, tapi bagi Yoga harus ada yang dilakukan, harus ada perubahan, tidak boleh selamanya kaum pekerja berdiam diri hanya menerima perlakuan semena-mena terhadap diri mereka. Perubahan akan terjadi apabila dibarengi aksi, Yoga sangat meyakini akan hal itu. Disinilah Yoga mengambil keputusan dan peran sebagai aktivis yang membawa suara-suara sumbang kelas pekerja yang menuntut keadilan dan kesejahteraan yang layak bagi mereka, setelah ia mengalami langsung berbagai masalah ketika bekerja sebagai buruh. Kerja belum selesai, belum apa-apa. Begitulah batin Yoga.
Tetapi perubahan inilah yang disangsikan oleh Etek, setelah sekian lama Yoga “berteriak” lantang namun perubahan tak kunjung datang. Persis seperti kejadian saat Etek dan pedagang lainnya digusur dari Pasar Senen, tidak seorangpun aktivis yang muncul batang hidungnya termasuk Yoga dan teman-temannya. Etek bukannya anti perubahan dan apatis terhadap segala permasalahan yang diasung Yoga, tetapi Etek hanya berharap agar Yoga juga tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai kakak bagi Sasa dan Bening, mengingat Etek yang semakin “lapuk”. Sasa yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas juga belum bisa segera diandalkan dalam menopang hidup keluarga. Sasa adalah tipe generasi muda yang gampang ikut arus, yang lebih cenderung memikirkan mode, gaya hidup, tren yang melanda anak-anak muda di negeri ini. Sedangkan Bening si bungsu, sangat berharap untuk bisa bersekolah di sekolah favorit yang ia idamkan. Sangat disayangkan kemudian, pada pertengahan cerita sepulang Sasa dan Bening dari sekolah. Mereka berdua pergi mengunjungi Ibu Ros kenalan Etek, disinilah mereka mengetahui ternyata keinginan Bening tidak berujung manis, Ibu Ros mengabarkan bahwa Bening tidak lulus masuk sekolah favorit idamannya. Sementara teman-teman Bening yang sepengetahuannya ada yang tidak lebih pintar darinya bisa lulus di sekolah tersebut hanya karena ia anak konglomerat. Bening depresi mendengar kabar itu, ia langsung masuk ke kamar dan menangis sendiri.
Seleksi masuk sekolah tahun ajaran baru menjadi agenda pendidikan tahunan yang seharusnya menjadi salah satu agenda penting dalam pelayanan pemerataan pengetahuan bagi masyarakat, kini telah berubah menjadi agenda pesta pendidikan yang “wah”. Bagaimana tidak, setiap kali penyelenggaraan pendidikan tahun ajaran baru dimulai seperti bunyi alarm bagi saku orangtua murid, beruntunglah bagi yang mampu, namun bagi keluarga miskin yang hidupnya pas-pasan, biaya sekolah menjadi beban lain yang harus mereka pikul di pundaknya. Sementara di lain pihak, pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap pemenuhan hak pendidikan bagi rakyat sesuai amanat konstitusi negara, seolah lepas tangan dengan masalah ini. Meski pun sebenarnya pemerintah sudah memberikan solusi yakni keringanan bagi rakyat miskin mendapatkan akses pendidikan dengan program bantuan bagi keluarga miskin, namun urusan birokrasi yang panjang dan berbelit menjadi permasalahan lain yang bikin telinga merah sehingga banyak keluarga miskin memilih untuk menjaga harga diri dan tidak mengambil haknya.
Kesempatan dalam kesempitan ini menjadi peluang bagi “sekelompok” orang yang lain, dana pendidikan yang “terpendam” itu pun tidak disia-siakan. Koruptor sang tikus menjadi ancaman laten yang sungguh memilukan dan memalukan namun semakin marak beranak-pinak. Dana pendidikan yang konon 20% itu tidak pernah sampai ke tangan kecil Bening. Bening tidak berdaya menghadapi tangan besar kekuasaan. Sama seperti kakaknya, Yoga, yang pada akhirnya dibungkam di tengah medan demonstrasi yang ia usung bersama teman-temannya demi menuntut kesejahteraan bagi rakyat kecil kelas pekerja, khususnya kaum buruh. Pemerintah seakan kecut dengan kebenaran yang dihadapkan kepadanya, kebenaran yang dipaparkan oleh Yoga tentang nasib mereka yang bagai sapi perahan pedagang kelas kakap, alih-alih melakukan dialog terbuka, pihak penguasa malah melakukan pendekatan represif untuk merespon suara rakyat kecil seperti Yoga. Hal ini diketahui Etek dari seorang pedagang asongan yang melihat langsung di tempat kejadian ketika Yoga diseret paksa oleh pihak aparat. Etek sangat terkejut pasi, seluruh tulang-tulangnya lemas dan aliran darahnya mendesir kencang mendengar kabar itu. Hati dan pikirannya tidak karuan membayangkan wajah Yoga, kemenakannya diciduk aparat. Dengan segenap emosi tak tertahankan ia mengutuk kejadian itu melalui monolog panjang mengenai ketidakberdayaan rakyat kecil seperti keluarganya di cengkraman penguasa.
Etek tidak pernah bermimpi yang muluk-muluk. Tidak mobil mewah, rumah gedongan, kapal pesiar, atau Mercy mengkilap. Etek hanya ingin kehidupan yang wajar, sederhana dan bersahaja. Namun apa daya keinginan itu harus berbenturan dengan kenyataan pahit di negeri ini bahwa pemegang kekuasaan sama dengan penguasa (absolut) rakyat dalam arti “sekelompok orang yang memiliki kuasa penuh atas orang lain”. Pemegang kuasa itu pada galibnya tidak merupakan tunggal perorangan, melainkan sekelompok orang dengan “kepentingan” yang sama, berjalin-kelindan mulai dari para pejabat elit, pedagang wahid, orang partai, sampai akademisi ambisius sekalipun. Sehingga membuat orang-orang seperti Etek tidak masuk dalam timbangan “kepentingan” yang sama. Etek adalah manusia millennium ketiga yang hidup di negeri yang penuh horror oleh mesin-kekerasan kerah putih, meminjam istilah yang digunakan oleh Pilliang.
Realitas yang dihadapi Etek adalah hasil rekayasa kaum elit yang sengaja memburamkan sudut pandang orang-orang awam seperti dirinya. Seakan-akan posisi yang dihadapi Etek dengan segala permasalahannya yang kusut masai dan bertubi-tubi ini tidak akan pernah menemui jalan keluar. Sehingga menyerah pada keadaan akhirnya menjadi satu-satunya pilihan. Itu terlihat pada perkataan Etek untuk kemenakannya itu sebelum ia ditangkap, Etek menyarankan agar Yoga tidak ikut-ikutan menjadi aktivis dan berdemonstrasi, bahwa itu semua tidak akan membawa perubahan apapun. Gelegak darah muda Yoga yang menyaksikan kejahatan kerah putih yang terjadi di sekitarnya tetap keukeuh pada keyakinan akan kehadiran ratu adil suatu saat nanti, sampai saat itu tiba ia pantang mundur segaris bayang pun. Kini, kasak-kusuk kriminalitas kelas elit di negeri ini menjadi memoar panjang akan lemahnya supremasi hukum. Sang hukum dan hakim seakan mandul menghadapi gurita berdasi yang pintar melakonkan peran bak aktor ternama. Elit kian melejit ke langit, hukum kian terjepit menjerit. Di ujung kisah, pasca penangkapan terhadap Yoga, Etek memutuskan untuk mencari dimana keberadaan Yoga kini. Sasa dan Bening terduduk sambil menahan isak tangis di ruang tengah rumah. Sebelum lampu padam dan tepuk tangan riuh dari penonton membahana, Bening ingin meyakinkan satu hal kepada kakaknya Sasa bahwa Etek tidak pergi selamanya meninggalkan mereka berdua, bahwa Etek akan segera kembali pulang. “Iya, Ning. Etek akan kembali. Etek pasti kembali.” Jawab Sasa dengan melankolis dalam isak tangis menutup pertunjukan malam itu dengan open ending.
Della Nasution selaku penulis naskah dan sutradara pertunjukan ini cukup apik meramu artikulasi pertunjukan hingga akhir cerita. Komposisi dramatis yang diselingi komedi ringan melalui permainan bahasa berhasil menghalau kebosanan penonton; salah satu momok yang paling ditakuti dalam pertunjukan dengan pendekatan panggung realis seperti ini. Tidak ada yang terlalu wah ala “broadway” dalam pertunjukan ini termasuk pengerjaan setting panggung dan musik yang hadir, namun seluruh komposisi yang sederhana ini memaksa menimang kusuk yang lain di hati penonton malam itu ketika mereka keluar dari gedung pertunjukan dan beranjak menuju kediaman masing-masing, bahwa masih ada yang harus dikerjakan. Kerja belum selesai, belum apa-apa.
Benny Kay, sutradara Teater Rumahteduh, Padang.
Lampu
telah dipadamkan. Pertanda pertunjukan akan segera dimulai. Malam itu
sekira pukul 20:00, Rabu (21/12), pementasan dengan judul “Menimbang
Lapuk” oleh Komunitas Seni Intro dipertunjukkan di pentas Teater Utama
Taman Budaya Padang. Sutradara pementasan ini Della Nasution, ialah
seorang seniman perempuan yang penuh dedikasi terhadap jalur seni yang
ia pilih, dalam hal ini seni teater. Ia peraih Empowering Women Artist
(EWA) dari Yayasan Kelola, sebuah yayasan yang berpusat di Jakarta,
yayasan ini telah membidani beragam kegiatan kesenian dan kebudayaan di
Indonesia. Program EWA ini berangkat dari fakta bahwa hanya 25% seniman
perempuan di Indonesia, sehingga seniman-seniman perempuan ini patut
diapresiasi lebih baik oleh masyarakatnya melihat kerja keras dan
ketekunan mereka berproses dalam kesenian. Yayasan Kelola dengan program
EWA ini memberi kesempatan bagi seniman-seniman perempuan Indonesia
dengan pendanaan dan pembinaan manajemen artistik selama tiga tahun
penuh.
Tiba-tiba lampu kembali dinyalakan di atas pentas. Menerangi sebuah “rumah” kelas pekerja yang sederhana. Satu set meja tamu dan kursi terletak di tengah ruangan. Agak menjorok ke belakang di sayap kanan panggung terlihat satu set perangkat memasak seperti kompor, rak bumbu, beberapa buah teflon tergantung di dinding, pisau dapur, dan sebagainya yang menandakan ruang kecil itu adalah dapur. Dua kain pintu terpasang rapi yang menandakan dua pintu kamar tidur. Di dinding triplek rumah itu terlihat dua poster menempel, pada dinding itu juga terdapat coretan khas tangan anak kecil, yang barangkali itu adalah coretan dindingnya Bening (Shindi Melun), gadis cilik yang akan masuk sekolah dasar pada tahun ajaran baru ini. Di rumah ini Bening tinggal bersama dua kakaknya; Yoga (Dirga RE) dan Sasa (Emilia Dwi Amoi), serta seorang Etek (Della N) saudara perempuan ibu yang menanggung kehidupan tiga kemenakannya. Sementara adik Etek atau ibu kandung Yoga (dan kedua adiknya) telah berpulang lebih dulu karena sakit. Tidak disinggung dimana keberadaan ayah selama pertunjukan berlangsung, bisa jadi hal ini disebabkan oleh keinginan penulis naskah sekaligus sutradara pertunjukan ini untuk lebih menonjolkan sosok perempuan tangguh, dalam hal ini Etek, sehingga keberadaan ayah tidak perlu dihadirkan ke dalam teks apabila dirasa hanya akan menjadi komponen yang sia-sia, baik secara teks naskah maupun teks panggung.
Cerita berawal dari sebuah pagi yang indah dalam keseharian keluarga minang perantauan di ibukota Jakarta. Kebahagiaan di pagi itu terlihat dari betapa cerianya Sasa dan Bening menyambut pagi sambil bernyanyi dan menari sebelum mereka akhirnya pergi ke sekolah. Tidak berapa lama kemudian dari kamar keluar Yoga yang juga akan keluar rumah, tapi bukan untuk bekerja, sebab ia sudah beberapa kali memutuskan hubungan kerjanya dari beberapa perusahaan yang ia rasakan sangat tidak adil dalam pembagian upah kerja bagi karyawan-karyawannya. Perusahaan hanya memikirkan bagaimana mendapatkan laba besar tanpa mempedulikan kesejahteraan karyawan. Kasus seperti ini jamak terjadi bahkan hampir terkesan klise sebenarnya, tapi bagi Yoga harus ada yang dilakukan, harus ada perubahan, tidak boleh selamanya kaum pekerja berdiam diri hanya menerima perlakuan semena-mena terhadap diri mereka. Perubahan akan terjadi apabila dibarengi aksi, Yoga sangat meyakini akan hal itu. Disinilah Yoga mengambil keputusan dan peran sebagai aktivis yang membawa suara-suara sumbang kelas pekerja yang menuntut keadilan dan kesejahteraan yang layak bagi mereka, setelah ia mengalami langsung berbagai masalah ketika bekerja sebagai buruh. Kerja belum selesai, belum apa-apa. Begitulah batin Yoga.
Tetapi perubahan inilah yang disangsikan oleh Etek, setelah sekian lama Yoga “berteriak” lantang namun perubahan tak kunjung datang. Persis seperti kejadian saat Etek dan pedagang lainnya digusur dari Pasar Senen, tidak seorangpun aktivis yang muncul batang hidungnya termasuk Yoga dan teman-temannya. Etek bukannya anti perubahan dan apatis terhadap segala permasalahan yang diasung Yoga, tetapi Etek hanya berharap agar Yoga juga tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai kakak bagi Sasa dan Bening, mengingat Etek yang semakin “lapuk”. Sasa yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas juga belum bisa segera diandalkan dalam menopang hidup keluarga. Sasa adalah tipe generasi muda yang gampang ikut arus, yang lebih cenderung memikirkan mode, gaya hidup, tren yang melanda anak-anak muda di negeri ini. Sedangkan Bening si bungsu, sangat berharap untuk bisa bersekolah di sekolah favorit yang ia idamkan. Sangat disayangkan kemudian, pada pertengahan cerita sepulang Sasa dan Bening dari sekolah. Mereka berdua pergi mengunjungi Ibu Ros kenalan Etek, disinilah mereka mengetahui ternyata keinginan Bening tidak berujung manis, Ibu Ros mengabarkan bahwa Bening tidak lulus masuk sekolah favorit idamannya. Sementara teman-teman Bening yang sepengetahuannya ada yang tidak lebih pintar darinya bisa lulus di sekolah tersebut hanya karena ia anak konglomerat. Bening depresi mendengar kabar itu, ia langsung masuk ke kamar dan menangis sendiri.
Seleksi masuk sekolah tahun ajaran baru menjadi agenda pendidikan tahunan yang seharusnya menjadi salah satu agenda penting dalam pelayanan pemerataan pengetahuan bagi masyarakat, kini telah berubah menjadi agenda pesta pendidikan yang “wah”. Bagaimana tidak, setiap kali penyelenggaraan pendidikan tahun ajaran baru dimulai seperti bunyi alarm bagi saku orangtua murid, beruntunglah bagi yang mampu, namun bagi keluarga miskin yang hidupnya pas-pasan, biaya sekolah menjadi beban lain yang harus mereka pikul di pundaknya. Sementara di lain pihak, pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap pemenuhan hak pendidikan bagi rakyat sesuai amanat konstitusi negara, seolah lepas tangan dengan masalah ini. Meski pun sebenarnya pemerintah sudah memberikan solusi yakni keringanan bagi rakyat miskin mendapatkan akses pendidikan dengan program bantuan bagi keluarga miskin, namun urusan birokrasi yang panjang dan berbelit menjadi permasalahan lain yang bikin telinga merah sehingga banyak keluarga miskin memilih untuk menjaga harga diri dan tidak mengambil haknya.
Kesempatan dalam kesempitan ini menjadi peluang bagi “sekelompok” orang yang lain, dana pendidikan yang “terpendam” itu pun tidak disia-siakan. Koruptor sang tikus menjadi ancaman laten yang sungguh memilukan dan memalukan namun semakin marak beranak-pinak. Dana pendidikan yang konon 20% itu tidak pernah sampai ke tangan kecil Bening. Bening tidak berdaya menghadapi tangan besar kekuasaan. Sama seperti kakaknya, Yoga, yang pada akhirnya dibungkam di tengah medan demonstrasi yang ia usung bersama teman-temannya demi menuntut kesejahteraan bagi rakyat kecil kelas pekerja, khususnya kaum buruh. Pemerintah seakan kecut dengan kebenaran yang dihadapkan kepadanya, kebenaran yang dipaparkan oleh Yoga tentang nasib mereka yang bagai sapi perahan pedagang kelas kakap, alih-alih melakukan dialog terbuka, pihak penguasa malah melakukan pendekatan represif untuk merespon suara rakyat kecil seperti Yoga. Hal ini diketahui Etek dari seorang pedagang asongan yang melihat langsung di tempat kejadian ketika Yoga diseret paksa oleh pihak aparat. Etek sangat terkejut pasi, seluruh tulang-tulangnya lemas dan aliran darahnya mendesir kencang mendengar kabar itu. Hati dan pikirannya tidak karuan membayangkan wajah Yoga, kemenakannya diciduk aparat. Dengan segenap emosi tak tertahankan ia mengutuk kejadian itu melalui monolog panjang mengenai ketidakberdayaan rakyat kecil seperti keluarganya di cengkraman penguasa.
Etek tidak pernah bermimpi yang muluk-muluk. Tidak mobil mewah, rumah gedongan, kapal pesiar, atau Mercy mengkilap. Etek hanya ingin kehidupan yang wajar, sederhana dan bersahaja. Namun apa daya keinginan itu harus berbenturan dengan kenyataan pahit di negeri ini bahwa pemegang kekuasaan sama dengan penguasa (absolut) rakyat dalam arti “sekelompok orang yang memiliki kuasa penuh atas orang lain”. Pemegang kuasa itu pada galibnya tidak merupakan tunggal perorangan, melainkan sekelompok orang dengan “kepentingan” yang sama, berjalin-kelindan mulai dari para pejabat elit, pedagang wahid, orang partai, sampai akademisi ambisius sekalipun. Sehingga membuat orang-orang seperti Etek tidak masuk dalam timbangan “kepentingan” yang sama. Etek adalah manusia millennium ketiga yang hidup di negeri yang penuh horror oleh mesin-kekerasan kerah putih, meminjam istilah yang digunakan oleh Pilliang.
Realitas yang dihadapi Etek adalah hasil rekayasa kaum elit yang sengaja memburamkan sudut pandang orang-orang awam seperti dirinya. Seakan-akan posisi yang dihadapi Etek dengan segala permasalahannya yang kusut masai dan bertubi-tubi ini tidak akan pernah menemui jalan keluar. Sehingga menyerah pada keadaan akhirnya menjadi satu-satunya pilihan. Itu terlihat pada perkataan Etek untuk kemenakannya itu sebelum ia ditangkap, Etek menyarankan agar Yoga tidak ikut-ikutan menjadi aktivis dan berdemonstrasi, bahwa itu semua tidak akan membawa perubahan apapun. Gelegak darah muda Yoga yang menyaksikan kejahatan kerah putih yang terjadi di sekitarnya tetap keukeuh pada keyakinan akan kehadiran ratu adil suatu saat nanti, sampai saat itu tiba ia pantang mundur segaris bayang pun. Kini, kasak-kusuk kriminalitas kelas elit di negeri ini menjadi memoar panjang akan lemahnya supremasi hukum. Sang hukum dan hakim seakan mandul menghadapi gurita berdasi yang pintar melakonkan peran bak aktor ternama. Elit kian melejit ke langit, hukum kian terjepit menjerit. Di ujung kisah, pasca penangkapan terhadap Yoga, Etek memutuskan untuk mencari dimana keberadaan Yoga kini. Sasa dan Bening terduduk sambil menahan isak tangis di ruang tengah rumah. Sebelum lampu padam dan tepuk tangan riuh dari penonton membahana, Bening ingin meyakinkan satu hal kepada kakaknya Sasa bahwa Etek tidak pergi selamanya meninggalkan mereka berdua, bahwa Etek akan segera kembali pulang. “Iya, Ning. Etek akan kembali. Etek pasti kembali.” Jawab Sasa dengan melankolis dalam isak tangis menutup pertunjukan malam itu dengan open ending.
Della Nasution selaku penulis naskah dan sutradara pertunjukan ini cukup apik meramu artikulasi pertunjukan hingga akhir cerita. Komposisi dramatis yang diselingi komedi ringan melalui permainan bahasa berhasil menghalau kebosanan penonton; salah satu momok yang paling ditakuti dalam pertunjukan dengan pendekatan panggung realis seperti ini. Tidak ada yang terlalu wah ala “broadway” dalam pertunjukan ini termasuk pengerjaan setting panggung dan musik yang hadir, namun seluruh komposisi yang sederhana ini memaksa menimang kusuk yang lain di hati penonton malam itu ketika mereka keluar dari gedung pertunjukan dan beranjak menuju kediaman masing-masing, bahwa masih ada yang harus dikerjakan. Kerja belum selesai, belum apa-apa.
***
Benny Kay, sutradara Teater Rumahteduh, Padang.
Post a Comment