Sastra dalam Masyarakat (Ter-)Multimedia(-kan): Implikasi Ontologis, Epistemologis, dan Edukasionalnya

oleh Prof. Dr. Faruk
Sebuah citra yang memotret sisi ironi dari perkembangan sebuah peradaban. (foto: google)

Demikian, ilmuwan sastra, khususnya di Indonesia, perlu memberikan perhatian yang lebih serius, melakukan penjelajahan secara lebih ekstensif dan intensif, terhadap persoalan-persoalan metodologis, khususnya yang berkaitan dengan fenomena karya-karya sastra pascamodernis yang lahir dari sensibilitas multimedia di atas. Salah satu kemungkinan metode yang dapat digunakan adalah metode dekonstruksi yang secara garis besar dapat ditemukan dalam buku Jonathan Culler yang berjudul On Deconstruction (1975). Metode ini berangkat dari asumsi teoretik bahwa teks, sebagai konstruksi makna atau sebagai aktivitas penandaan, akan selalu bersifat terbuka karena tanda tidak terbangun dari penanda dan petanda, melainkan hanya berupa jejak, rangkaian penanda. Untuk menemukan keterbukaan itu metode dekonstruksi pertama-tama melakukan identifikasi terhadap satuan-satuan teks yang dianggap signifikan. Ada dua kriteria yang digunakan untuk menetapkan suatu rangkaian tanda sebagai satuan signifikan, yaitu keberadaannya sebagai bagian dari satu pasangan oposisional (oposisi biner) dan posisinya di dalam struktur hierarkis dari pasangan itu. Sampai pada tahap ini konstruksi makna dari teks sudah terbangun seperti yang juga dilakukan oleh strukturalis. Untuk membuka kembali konstruksi itu, dekonstruksi mengambil langkah berikutnya, yaitu mengidentifikasi asumsi-asumsi dasar yang digunakan teks untuk menentukan relasi yang hierarkis antarpasangan di atas. Langkah yang terakhir adalah menggunakan asumsi yang sama untuk menemukan satuan-satuan kontradiktif yang mungkin disembunyikan atau yang diimplikasikan atau yang menjadi konsekuensi yang tak terelakkan dari strukturasi teks di atas.

“Sugih tanpa bandha”, ‘kaya tanpa harta’, bisa diperlakukan sebagai sebuah teks walaupun hanya terdiri dari satu klausa, bahkan frasa, hanya bagian dari kalimat. Meskipun hanya dengan tersirat, teks itu mengandung pasangan oposisional, yaitu, anggaplah kaya lawan miskin. Bila kita seorang strukturalis atau ahli semiotik, kita akan mencoba menemukan satu kesatuan makna yang menjadi esensi dari teks tersebut. Misalnya, setelah menempuh berbagai cara atau metode, baik metode struktural maupun metode semiotik, kita sampai pada kesimpulan bahwa makna esensial dari teks itu adalah “keutamaan spiritualitas”. Namun, bila kita mencoba memahaminya sebagai sebuah teks terbuka secara dekonstruktif, kita tidak hanya berhenti pada oposisi antara kaya dan miskin, tidak hanya berhenti pada struktur hierarkis yang menempatkan miskin lebih tinggi daripada kaya, tidak juga berhenti pada asumsi yang menjadi dasar dari hierarki itu, misalnya “orang yang miskin akan hidup prihatin dan akan selalu ingat pada Tuhan atau pada hal-hal yang bersifat spiritual dan spiritualitas itu bersifat tidak terbatas, kekal, sedangkan harta itu terbatas, fana. Dekonstruksi tidak akan berhenti hanya sampai pada pemaknaan seperti itu, melainkan melangkah setapak lagi, yaitu menemukan apa yang disembunyikan, yang bisa bersifat kontradiktif dan menihilkan struktur hierarkis yang ada sebelumnya. Untuk itu, dekonstruksi akan menempuh jalan memutar dengan menemukan pasangan oposisional yang lain, yaitu, misalnya bentuk dan isi atau ekspresi dan intensi serta alat dan tujuan. Bentuk/ekspresi hanyalah alat, sedangkan tujuannya adalah isi atau ekspresi. Bentuk/ekspresi dan alat mengabdi kepada isi/intensi dan tujuan. Bentuk/ekspresinya adalah “kaya tanpa harta”, sedangkan isi/intensinya adalah “keutamaan spiritualitas”. Akan tetapi, yang kemudian menjadi masalah adalah faktor yang menyebabkan isi/intensi itu disampaikan dengan bentuk/ekspresi yang demikian. Kenapa isi/intensi itu tidak diberi bentuk atau diekspresikan dengan kata “miskin” saja, sebuah kata yang pasti lebih hemat, bersifat positif? Bukankah dengan asumsi dasar yang sama bentuk/ekspresi alternatif itu akan dapat menyampaikan isi/intensi yang sama? Dengan rumusan yang lain, kenapa teks itu menyembunyikan kata “miskin”?

Ada dua kemungkinan jawaban atas pertanyaan ini dengan implikasi ke arah dua teori dan metode yang berbeda. Pertama, teks itu merupakan rangkaian dari aktivitas penandaan yang lebih besar, bagian dari sebuah konversasi, merupakan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh teks yang lain, misalnya teks yang memuliakan kekayaan yang ternyata problematik bagi orang yang terjerat dalam, anggaplah, “kemiskinan struktural”. Kemungkinan jawaban yang pertama ini dapat membawa kita kepada teori dan metode resepsi sastra sebagaimana yang dikemukakan Hans Robert Jauss, khususnya Tesis 7-nya (Jauss 1983: 41). Kedua, teks itu merupakan resistensi dari ideologi yang hegemonik, misalnya ideologi kapitalis yang materialistik. Dalam hal ini keterbukaan teks itu membawa kita kepada teori dan metode hegemoni Antonio Gramsci yang dapat dikatakan menempatkan teks sebagai situs hegemoni atau pertarungan ideologis yang di dalamnya terjadi tidak hanya pertentangan, melainkan adopsi terhadap ideologi yang saling bermusuhan sekalipun (Gramscy 1087: 57—60). Karena itu, teks di atas menggunakan istilah dari ideologi yang materialistik, yaitu kekayaan, justru untuk menyampaikan makna yang berkebalikan.

Hadirin yang bijaksana,

Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang mempunyai antusiasme yang tinggi dalam mengkonsumsi media-media elektronik. Dari pengamatan sehari-hari saja kita sudah dapat menyaksikan betapa, misalnya, televisi sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari setiap rumah tangga di Indonesia, dari tingkatan sosial-ekonomi yang tertinggi sampai yang terendah. Di ruang publik kita dapat menyaksikan betapa menjamurnya pusat-pusat penjualan telepon genggam yang disertai dengan maraknya meja-meja kecil penjualan pulsa di sepanjang jalan, terutama di perkotaan. Data terakhir yang bisa mewakili kecenderungan demikian dapat ditemukan, umpamanya, di detik.com pada tanggal 15 januari tahun 2011 yang memuat berita dengan judul “RI, Pengguna Facebook Terbesar Kedua di Dunia”. Tabel berikut ini, yang dimuat di dalam berita tersebut, dapat memberikan gambaran yang lebih rinci mengenai apa yang disampaikan oleh judul tersebut.


Worldwide Facebook Users:
596 372 520

TOP5 Countries on Facebook
United States:      146 591 880
Indonesia:              33 920 020
United Kingdom:    27 545 920
Turkey:                  24 788 400
Philippines:              20 802 540

Selain itu, karena dukungan teknologi percetakan yang terkomputerisasikan, landskap kehidupan kota-kota di Indonesia juga memperlihatkan kecenderungan untuk semakin tervisualisasikan. Sebagai misal, etalase pertokoan di Yogyakarta yang di tahun 1970-an masih didominasi oleh warna coklat yang introvert dari kayu jati, sejak tahun 1980-an semakin berkilat dan beraneka warna. Belum lagi penampilan papan-papan nama toko, poster-poster dan baleho-baleho yang memampangkan iklan berbagai komoditas yang tampak semakin padat dan bahkan terkesan bertumpang-tindih. Toko-toko dan kios-kios yang menjual dan menyewakan cd dan dvd, tempat-tempat penyewaan komputer, akses ke internet (warnet), dan permainan game, juga semakin menyebar luas.

Dalam kondisi yang serupa itu tidaklah mengherankan jika masyarakat Indonesia, menjadi termultimediakan. Saya kira, siapa saja yang biasa menjadi pembicara dalam seminar, misalnya, akan menyaksikan dan mengalami perubahan dalam cara diskusi dalam forum itu. Dulu, mungkin baru sekitar 10 atau 15 tahun yang lalu, apabila ada seminar, orang akan bertanya, “siapa pembicaranya?” atau “siapa pemakalahnya?”, tetapi, kemudian, orang akan bertanya, “siapa yang akan memberikan presentasi”. Kalau dulu, Panitia Seminar akan meminta makalah dari pembicara, sekarang panitia itu akan meminta (juga) “power point” darinya.

Perubahan yang demikian sudah terbukti di dalam seni pertunjukan wayang kulit sebagaimana yang bisa disimak dari buku hasil laporan penelitian Umar Kayam yang berjudul Kelir Tanpa Batas (2001). Di masa lalu, setidaknya masa sebelum menyebarnya radio, atau di tempat yang masih belum terjangkau oleh radio, daya tarik wayang kulit terletak pada otoritas dalangnya, otoritas yang ditentukan antara lain oleh faktor keturunan. Sejak menjamurnya radio, daya pikat wayang mulai terletak pada tampilan suaranya, khususnya suara dalang dan sindennya sebagaimana yang terbukti dari popularitas Anom Suroto. Popularitas dalang yang kemudian ini, sejak sekitar tahun 1980-an, digantikan oleh dalang lain, yaitu Mantab Sudarsono, seorang dalang yang dijuluki “dalang setan” karena ketrampilan tangannya dalam memainkan boneka wayang. Bersamaan dengan itu, terjadi pula pergeseran (evolusioner) peralatan musik dan pendukung panggung lainnya dari seni pertunjukan tersebut, Secara berangsur-angsur peralatan musik tradisional yang berupa gamelan ditambah dengan keyboard tunggal dan kemudian bahkan seperangkat alat band modern. Ditambah dengan masuknya pelawak, penyanyi dangdut, menyertai sinden yang pakaiannya juga semakin gemerlap, pertunjukan wayang, dalam persepsi Umar Kayam, berubah menjadi “kelir tanpa batas”.

Sebagian besar penggemar seni pertunjukan wayang kulit yang mutakhir tersebut adalah anak muda yang kadang-kadang siap melempar batu bila seni pertunjukan itu, misalnya, tidak menyertakan kelompok musik dangdut di dalamnya. Anak-anak muda itu tentu saja merupakan generasi multimedia, generasi yang kepekaan inderawinya sejak kecil diasah oleh televisi dan lanskap kehidupan yang semakin tervisualisasikan di atas. Mahasiswa termasuk di dalam generas yang demikian. Berbeda dari yang saya alami di tahun 1970-an, sebagaimana yang sudah dikemukakan di bagian awal pidato ini, mahasiswa sekarang cenderung tidak lagi dapat dipesona oleh sekedar retorika bahasa, kejernihan konseptual, ketajaman pemikiran yang kritis. Mahasiswa sekarang, dengan sensibilitas multimedianya, hanya akan tertarik dengan tampilan yang multimedia, yang dapat mengaktifkan seluruh indera mereka, dengan proses belajar-mengajar yang membuat mereka terlibat, bukan yang membuat mereka mampu berjarak, yang membawa mereka dalam kegiatan kolektif, bukan refleksi individual. Karena itu, untuk mereka, dibutuhkan sebuah metode pembelajaran yang spesifik karena, berbeda dari proses penelitian yang variabelnya hanya peneliti dan objek, di dalam proses belajar-mengajar mahasiswa merupakan variabel yang harus diperhitungkan.

Kecenderungan yang terjadi pada masyarakat Indonesia, terutama generasi muda dan mahasiswa di atas, tentunya terjadi juga di negara-negara maju seperti Amerika atapun yang lainnya. Oleh sebab itu, di negara-negara maju itu telah muncul banyak penemuan baru dalam metode pembelajaran yang, apabila disimak dengan sedikit cermat, sesuai dengan sinsibilitas multimedia yang telah dikemukakan. Kutipan berikut mengindikasikan dengan sempurna dan lengkap kecenderungan demikian.

“Multimedia combine a variety of media -- text, graphics, still photographs, animations, sound, and video -- in a nonlinear computer-based environment with which users can interact. There are several reasons to believe multimedia might provide a promising alternative to text:

1. Multimedia support independent learning through student control of information and events (Milheim, 1988) and can thus promote student-centered learning. (12) Indeed, teaching and learning in computer-based classrooms has been shown to be more student-centered than teaching and learning in traditional text-based classrooms (Swan & Mitriani, 1991).
2. Multimedia have proved a powerful catalyst for cooperative learning (Johnson & Johnson, 1986; Webb, 1983). As such, it can enhance socially mediated learning processes.
3. Multimedia support constructionist (Papert, 1993) views of learning which hold that learning takes place when students actively and collectively build knowledge structures. Computer-based representations can make this process explicit, thus increasing the likelihood that students will internalize what they learn (Salomon, 1988; Scardamelia & Bereiter, 1991).
4. Multimedia support multiple representations of knowledge and nonlinear domain analyses (Spiro & Jehng, 1990), and can make accessible the extensive amount of information from which multiple meaning and interpretations evolve (Duffy & Knuth, 1992).
5. The visual and aural elements of multimedia support diverse learning styles (Spoehr, 1992). These same elements make multimedia a rich and engaging learning environment, contributing to high levels of motivation and involvement (Chomsky, 1990).
6. Finally, multimedia create an opportunity for teachers to recast their own understanding of the role of text in the teaching and learning of literature, and, accordingly, their own beliefs about -- and roles in -- teaching and learning.”
(Swan and Meskill 2011)

Yang terhormat ibu-ibu, bapak-bapak, hadirin sekalian,

Apabila dilihat berita di berbagai media dan tulisan ataupun laporan di jurnal-jurnalnya, Kementerian Pendidikan Nasional terlibat sangat aktif dalam usaha penemuan, perumusan, dan proyek-proyek eksperimentasi metode pembelajaran baru, termasuk yang berbasis multimedia. Bersamaan dengan, mungkin juga sebagai akibat dari hal itu, banyak pihak, apalagi sekolah-sekolah, yang bisa disebut mengalami “demam” pengadaan peralatan multimedia, terutarama komputer dan LCD. Begitu panasnya demam itu sehingga muncul humor seperti yang dapat disimak dalam kutipan yang berasal dari http://hiburan.kompasiana.com/humor/2010/09/24/sekolah-desa-pun-ternyata-pake-lcd/  berikut ini.

“Alkisah ….
Bambang …..
Seorang guru SMP kota ketemu dengan temen lamanya Slamet yang ngajar di sebuah dusun terpencil ….
Mereka saling tukar cerita ….
Hingga akhirnya ….

Bambang:
Bener di sekolah mu di desa media pembelajarannya udah Pake LCD ??

Slamet:
Bener!! Ngapain saya Bohong ….
Bahkan …Ini udah berlangsung sejak awal sekolah ini berdiri sejak tahun 1970…
Dan … setiap guru sudah memilikinya !!!”

Bambang:
Ahh Boong. Tahun segitu belum ada LCD…. Apalagi dibagi satu-satu buat gurunya
Emang kayak apa tuhh LCD-nya???

Slamet:
LCD nya adalah LANGSUNG CANGKEME DEWE….
Alias Langsung Dari Mulut Guru masing-masing alias Gurunya Cuma Ceramah doank…. Hahaahhahahahahaa

Bambang:
Koyo cangkem mu… Monyong … wakakakakakkakakk “

Humor itu, Ibu-ibu, Bapak-bapak, Hadirin sekalian, bukan sekedar humor. Di dalamnya terimplikasikan perbedaan antardua metode pembelajaran dan sekaligus antardua peradaban, yaitu metode dan/atau peradaban yang berbasis teknologi bahasa lisan dengan metode dan/atau peradaban yang berbasis teknologi multimedia. Perbedaan antara kedua hal tersebut dapat kita lihat dalam perspektif relativis, dapat pula dari perspektif evolusionis. Dengan perspektif yang pertama kita dapat mengatakan bahwa keduanya berada dalam posisi yang setara, sama rasionalnya, sama logisnya, dan sama efektifnya sesuai dengan latar belakang teknologi informasi dan kebudayaan masing-masing. Dengan perspektif yang kedua kita dapat menganggap bahwa keduanya berada dalam posisi yang hierarkis yang di dalamnya metode dan/atau peradaban yang kemudian merupakan pengembangan dan sekaligus penyempurnaan dari yang terdahulu. Kita yang hidup di masa kini, di sini, dalam lingkungan peradaban yang mungkin didominasi oleh teknologi multimedia seperti komputer, misalnya, akan cenderung melihatnya dalam perepektif evolusionis dengan misalnya menganalogikan kedua metode dan/atau peradaban tersebut dengan sistem pengembangan perangkat-lunak komputer yang di dalamnya perangkat-lunak yang kemudian akan mampu membaca dan mengoperasikan apa yang dapat dilakukan oleh perangkat-lunak yang terdahulu dengan cara yang sama efektifnya. Lebih jauh, kita mungkin bahkan akan mengkonstruksi sebuah paham dengan klaim universalitas dan kealamiahan dengan, umpamanya, membuat pernyataan seperti yang ada dalam math.arizona.edu/~atp-mena/.../Damodharan_Innovative_Methods.pdf  berikut.

“The teacher uses multimedia to modify the contents of the material. It will help the teacher to represent in a more meaningful way, using different media elements. These media elements can be converted into digital form, modified and customized for the final presentation. By incorporating digital media elements into the project, the students are able to learn better since they use multiple sensory modalities, which would make them more motivated to pay more attention to the information presented and retain the information better.”

Kutipan itu mengimplikasikan pandangan bahwa pada kodratnya manusia mempunyai multi-indera sehingga proses pembelajaran yang paling efektif adalah dengan menggunakan metode multimedia. Dengan metode tersebut, seperti dikatakan, (maha-)siswa akan menjadi lebih termotivasi untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap informasi yang dipresentasikan dan mampu mempertahankan pengetahuannya dengan lebih baik.

Universalisasi dan/atau naturalisasi yang demikian tentu bermasalah jika dihadapkan dengan pandangan relativis di atas. Harus diakui bahwa tidak semua kebudayaan mempunyai kepekaan inderawi yang sama. Jepang, misalnya, mempunyai ketajaman yang luar biasa dalam kepekaan visualnya sehingga masyarakat dan kebudayaan itu tidak hanya menghasilkan banyak karya-karya visual, melainkan bahkan menghasilkan karya-karya kebahasaan seperti puisi Haiku yang sangat imajis. Kepekaan visual itu disertai pengurangan terhadap aktivitas indera pendengaran sehingga Jepang bisa dikatakan merupakan sebuah negeri yang sunyi, tempat orang seakan-akan bermeditasi setiap waktu, tidak hanya di tempat kerja, melainkan bahkan di pusat perbelanjaan barang-barang elektronik seperti Akihabara. Sebaliknya, di Indonesia, khususnya Jawa, tidak banyak ditemukan karya-karya seni tradisional dengan daya visualitas yang tinggi. Indonesia, seperti halnya Korea, merupakan negeri yang sangat berisik. Sewaktu sempat tinggal selama dua bulan di Jepang, saya sungguh merasa tersiksa karena negeri itu begitu sunyi. Sebaliknya, orang Jepang mungkin akan merasa tersiksa dan terganggu oleh suasana berisik yang ada di Indonesia.

Marshal McLuhan, antara lain dalam tulisannya yang berjudul “The Medium is the Message” (McLuhan 1964: 33) mengatakan bahwa “... The effects of technology do not occur at the level of opinions or concepts, but alter sense ratio or patterns of perception steadily and without any resistance.” Yang ia maksud dengan teknologi, tentu saja, adalah media, sedangkan yang ia maksud dengan rasio indera adalah skala penggunaan dan kepekaan inderawi yang dapat berubah sesuai dengan macam teknologi informasi yang digunakan oleh manusia, khususnya masyarakat dan kebudayaan tertentu. Dalam tulisannya di atas McLuhan memaparkan pesan dari berbagai media yang tidak lain adalah pengaruh sosio-kultural dari media itu, bukan pengaruh isi dari medianya. Gagasan McLuhan ini dikembangkan oleh banyak ahli mengenai pengaruh teknologi informasi terhadap kebudayaan umat manusia, misalnya Walter J. Ong dalam bukunya yang berjudul Orality and Literacy: The Technologizing of the Word (1986).

Secara garis besar, dalam buku ini Ong memaparkan pengaruh bahasa lisan dan tulisan sebagai alat penyimpan, pengolah, dan penyebar informasi terhadap kebudayaan masyarakat yang menggunakannya. Karena, misalnya, bunyi menguap begitu diucapkan, masyarakat bahasa lisan menghadapi persoalan cara mengingat informasi yang disampaikan oleh bahasa itu. Untuk dapat mengingat pesan, mereka, antara lain, kemudian mengembangkan kebudayaan yang formulaik, ritualistik, menggantungkan kebenaran pada otoritas tertentu, pada “kahanan”, dan suka membuat monumen. Pada zaman Orde Baru terdapat kebiasaan untuk menggunakan akronim. Kebiasaan ini tampaknya merupakan kelanjutan dari kebudayaan lisan dalam pengertian Ong di atas. Pendek kata, karena ketergantungan pada bunyi, masyarakat lisan terus-menerus mengasah kepekaan anggota-anggotanya terhadap bunyi, terus-menerus melatih indera pendengarannya. Selain itu, masyarakat yang demikian tentu juga melatih terus-menerus anggotanya untuk mengingat sehingga, mungkin saja, ingatan mereka lebih kuat daripada masyarakat yang teknologi informasinya adalah tulisan. Dalam dan dengan tulisan masyarakat tidak terlalu terdorong dan terdesak untuk mengingat karena informasi yang disampaikan oleh tulisan dapat setiap saat diperiksa kembali (Check and Recheck). Seperti halnya McLuhan, Ong juga beranggapan bahwa ilmu pengetahuan modern hanya mungkin ada dan berkembang seperti sekarang ini akibat dukungan dari tulisan. Ong menyebut media elektronik yang bersifat multiple sebagai “kelisanan kedua” karena, terlepas dari adanya skenario yang berupa tulisan yang ada di baliknya, ciri-ciri produk dari teknologi elektronik itu sangat mirip dengan teknologi bahasa lisan dan bertentangan dengan teknologi tulisan.

Poster, dalam bukunya yang sudah dibicarakan sebelumnya, juga berbicara mengenai perbedaan pengaruh kebudayaan dari bahasa lisan dan bahasa tulis. Selain mengemukakan hal yang sama dengan McLuhan dan Ong, Poster (2004: 6) mengatakan hal berikut.

“Every age employs forms of symbolic exchange which contain internal and external structures, means, and relations of signification. Stages in the mode of information maybe tentatively designated as follows: face-to-face, orally mediated exchange; written exchanges mediated by print; and electronically mediated exchange. If the first stage is characterized by symbolic correspondences, and the second stage is characterized by the representation of signs, the third stage is characterized by informational simulations. In the first, oral stage, the self is constituted as a position of enunciation through its embeddedness in a totality of face-to-face relations. In the second, print stage, the self is constructed as an agent centered in rational/imaginary autonomy. In the third, electronic stage, the self is decentered, dispersed, and multified in continuous instability.”

Sudah menjadi kesan umum bahwa masyarakat Indonesia belumlah menjadi masyarakat yang beraksara dengan budaya aksara yang kuat seperti yang antara lain terlihat dari adanya ketidakpastian hukum, ketergantungan institusi pada pribadi, dan sebagainya. Jika hal ini benar, masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang “tembak langsung” dari masyarakat dengan budaya lisan ke masyarakat dengan budaya multimedia. Dalam keadaan yang demikian, bukan tidak mungkin terjadi tumpang-tindih dan kerancuan antara keduanya karena, menurut Ong, ciri-ciri teknologi lisan itu mirip dengan ciri-ciri teknologi elektronik dengan media yang multiple, yang oleh Ong sendiri disebut sebagai “kelisanan kedua” di atas. Bila demikian halnya, tidak akan pula mengherankan jika Liquid Crystal Display (LCD) bertumpang-tindih dengan Langsung Cangkeme Dhewe (LCD).

Selain itu, tidak semua objek yang dijadikan bahan-ajar dapat diajarkan dengan baik, efektif, dan produktif dengan metode pengajaran multimedia. Sebagaimana yang sudah disinggung secara tidak langsung, sejarah sastra modern menunjukkan bahwa karya sastra merupakan karya kebahasaan yang mencoba dengan keras untuk meruang, melampaui batas substansi bahasa yang pada dasarnya bersifat temporal. Usaha yang keras itu membuat karya-karya sastra memberikan kontribusi yang besar dalam pengembangan dan pengayaan bahasa. Apabila karya sastra dan proses pembelajaran bahasa mengandalkan bantuan teknologi multimedia yang dapat memberikan citra inderawi yang bermacam-macam dengan mudah, perjuangan untuk menjadikan yang spasial menjadi temporal, yang ikonik menjadi simbolik, akan cenderung dilepaskan sehingga posisi bahasa berada dalam posisi status quo. Karena itu, agar penggunaan teknologi multimedia dalam penciptaan dan proses pembelajaran bahasa dan sastra terhindar dari kemungkinan risiko yang demikian, citra-citra non-bahasa harus ditempatkan sebagai bahan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa, bukan sebaliknya.

Hadirin yang saya hormati,

Izinkan saya menyampaikan beberapa butir pokok pikiran dari pidato yang panjang lebar, yang sudah saya sampaikan di atas.

1. Teknologi elektronik memungkinkan terciptanya suatu cara penyimpanan, pengolahan, penyebaran, dan pertukaran informasi yang baru, suatu “mode of information” yang bersifat multimedia.

2. Penyebaran dan penggunaan yang semakin ekstensif dan intensif dari cara tersebut memungkinkan terbentuknya masyarakat dan kebudayaan dengan sensibilitas yang baru pula, yaitu sensibilitas multimedia.

3. Sensibilitas multimedia itu membuat masyarakat dan kebudayaan termaksud membentuk dan mengembangkan cara berpikir, cara merasa, cara bersikap, dan cara bertindak yang prosesual dengan pengerahan keseluruhan daya inderawinya.

4. Sensibilitas itu memperlihatkan kecenderungan beroperasi di hampir seluruh bidang kehidupan, termasuk bidang ilmu pengetahuan dan kesusastraan serta juga pendidikan.

5. Sensibilitas itu dapat disebut sebagai sensibilitas pascamodern yang dipertentangkan dengan sensibilitas modern yang justru menjadi dasar ilmu pengetahuan dan kesusastraan modern.

6. Ilmu pengetahuan dan kesusastraan modern sebenarnya merupakan produk atau setidaknya dimungkinkan oleh “mode informasi” yang dimediasi oleh tulisan, sedangkan tulisan itu sendiri, sesuai dengan karakteristik substansialnya, merupakan kekuatan teknologis yang membentuk subjek yang mandiri di hadapan semesta objek-objek, subjek yang reflektif dan kontemplatif dengan cara mengambil jarak dari kehidupan agar ia mampu memahami, menjelaskan, dan merepresentasikan kebenaran secara objektif.

7. Sensibilitas pascamodern, dengan “mode of information” yang termediasi secara multiple, tidak lagi membentuk subjek yang mandiri yang berhadapan secara berjarak dengan objek, melainkan membentuk subjek yang terlibat dalam hubungan intersubjektif dengan subjek yang lain sehingga yang diutamakan dalam proses perolehan ilmu pengetahuan bukanlah hasil yang berupa kebenaran, melainkan proses interaksi dan pengalaman dalam proses itu sendiri. Karena itu, dengan sensibilitas yang demikian, perbedaan, pembedaan, apalagi pertentangan antara ilmu pengetahuan dengan mitos dan/atau takhyul tidak lagi menjadi wacana.

8. Dalam dan dengan sensibilitas serupa itu muncul karya-karya sastra yang memperlihatkan kecenderungan baru, yang, antara lain, disebut sebagai sastra pascamodern. Karya-karya sastra pascamodern ini tidak membentuk diri menjadi sebuah satuan signifikansi yang tertutup, melainkan terbuka. Keterbukaan itu, pada gilirannya, mempertalikan karya sastra dengan konteks yang lebih luas, yaitu yang berupa proses-proses estetik, semiotik, kultural, sosial, politik, dan bahkan ekonomik. Proses-proses itu sendiri tidak membentuk pola-pola yang tetap secara universal, melainkan bervariasi, historis.

9. Kondisi keberadaan karya sastra yang demikian melahirkan pendekatan-pendekatan baru, teori-teori baru dalam ilmu sastra, yaitu pendekatan dan teori yang dapat dikatakan bersifat kontekstual dan prosesual. Lebih jauh, kedua hal di atas memberikan tantangan bagi ilmuwan sastra untuk membentuk dan mengembangkan metode penelitian dan pengajaran yang sesuai dengannya. Mengingat di dalam ilmu sastra jarang sekali ada usaha eksplorasi, diskusi, dan perumusan mengenai persoalan-persoalan metodologis, tantangan itu akan dapat dijawab mungkin hanya dengan kerja yang ekstra keras.

10. Sensibilitas di atas memperlihatkan pula pengaruhnya pada usaha-usaha pencarian dan penemuan metode-metode pengajaran yang baru, yaitu metode pengajaran multimedia, prosesual, kooperatif, multiinderawi, dan sebagainya. Karena masyarakat Indonesia, terutama generasi mudanya, termasuk masyarakat yang termultimediakan dengan setidaknya ekstensitas yang tinggi, usaha-usaha untuk menemukan dan menggunakan metode pengajaran serupa itu terjadi.

11. Ada kecenderungan dan terbuka kemungkinan yang relatif besar untuk menempatkan metode pengajaran multimedia sebagai metode yang universal, yang berlaku bagi masyarakat dan kebudayaan mana pun dan kapan pun dengan alasan bahwa manusia pada dasarnya mempunyai indera yang multiple dan semakin banyak daya inderawi yang diaktifkan dalam proses belajar-mengajar akan semakin efektif proses itu.

12. Institusi-institusi pendidikan, termasuk universitas, perlu bersikap reflektif dan kritis terhadap kecenderungan di atas karena sudah banyak pula ahli yang membuktikan bahwa ratio kepekaan inderawi manusia bervariasi sesuai dengan variasi teknologi informasi yang digunakan oleh masyarakat dan kebudayaan tempat manusia itu hidup. Dalam konteks masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang budaya aksaranya masih lemah, sedangkan budaya lisannya masih sangat kuat, sensibilitas multimedia dapat bertumpang-tindih dengan sensibilitas lisan.

13. Tidak semua objek ilmu pengetahuan dapat diajarkan dengan cara yang sama karena setiap objek mempunyai karakteristik substansial dan kultural yang berbeda. Penggunaan metode pengajaran multimedia untuk pengajaran bahasa dan sastra mengandung risiko penghambatan dalam pengembangan dan bahkan marginalisasi bahasa dan sastra itu. Risiko ini dapat diminimalkan jika tanda-tanda multimedia tidak digunakan sebagai alat untuk menerjemahkan tanda-tanda kebahasaan dan kesusastraan, melainkan sebaliknya.

Ibu-ibu, Bapak-bapak, Saudara-saudara yang saya muliakan,

Terlebih dahulu saya memohon maaf atas keterlambatan saya dalam menyampaikan pidato pengukuhan ini. Sebenarnya, saya sudah menyiapkan pidato pengukuhan saya sejak sekitar 12 tahun yang lalu. Akan tetapi, mungkin karena nasib saya sedang sial, mungkin juga karena saya memang belum “matang”, tidak mempunyai kesabaran yang terlalu kuat, sekitar seminggu sebelum penetapan saya sebagai guru besar, bahan untuk pidato pengukuhan itu sudah saya publikasikan. Dan, tidaklah mudah untuk membuat bahan pidato yang baru. Dalam hal ini saya setuju dengan Umar Kayam. “Yang lebih lama ndhomblongnya daripada nulisnya,” begitu kira-kira kata beliau. Sungguh, saya ndhomblong untuk pidato ini selama hampir dua tahun dan menulisnya hanya sekitar satu bulan.

Saya senang bahwa gelar guru besar yang sudah saya nantikan selama lebih dari sepuluh tahun ini akhirnya datang juga. Pertama-tama, saya mengucapkan ribuan terima kasih kepada Ibu Dr. Sumiyati yang tidak bosan-bosannya menabahkan hati saya, menjauhkan saya dari rasa putus asa, dan tentu saja juga yang tidak kenal lelah memperjuangkan perolehan gelar ini untuk saya. Selanjutnya, saya tentu saja tidak dapat dan tidak boleh melupakan jasa seluruh anggota Jurusan Sastra Indonesia dan Senat Fakultas Ilmu Budaya serta Senat Akademik dan Majelis Guru Besar yang telah menerima pengusulan diri saya sebagai guru besar dan yang kemudian menghantarkan pengusulan itu kepada otoritas tertinggi dan satu-satunya yang membuat semua pengusulan itu menjadi nyata, yaitu Presiden Republik Indonesia melalui Menteri Pendidikan Nasional.

Saya pastilah tidak akan sampai pada perolehan gelar ini jika saya tidak mempunyai semangat untuk menggeluti karir saya sebagai pelaksana Tri Darma Perguruan Tinggi di universitas ini. Dan, semangat itu hanya akan dapat terpompakan ke dalam hati dan pikiran saya akibat lingkungan kolegial yang kondusif, teman-teman seniman, sastrawan, wartawan, dan penerbit se-Yogyakarta dan se-Indonesia yang bersedia menerima diri dan terutama pikiran-pikiran saya dalam lingkungan mereka. Untuk semua itu, tidak ada kata lain yang dapat saya persembahkan selain perasaan berhutang budi yang sedalam-dalamnya. Dalam hal ini, secara khusus, saya sampaikan terima kasih saya kepada Pustaka Pelajar yang selalu setia menerbitkan buku-buku saya dan Dyah serta Ninuk yang selalu siap membantu saya dalam banyak urusan administratif. Saya mengucapkan rasa terima kasih saya yang tidak terhingga pada dua buah nama, nama yang mempunyai jasa yang amat besar bagi keterlibatan saya di lingkungan akademik di universitas tercinta ini, nama yang telah membuat saya menjadi yakin pada jalan yang sampai sekarang saya tempuh ini, yaitu Prof. Dr. Umar Kayam dan Prof. Dr. A. Teeuw.

Saya merasa tidak perlu mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota keluarga saya, terutama istri saya, Sri Purwiyati, anak-anak saya, Widya Paramita dan Dea Karya Adyani, dan kedua orang tua saya karena saya bukanlah orang lain bagi mereka, mereka adalah saya, saya adalah mereka. Seperti yang dikatakan Sutardji Calzoum Bachri dalam salah sebuah puisinya: “yang tertusuk padamu berdarah padaku”.

Kepada para hadirin yang telah bersedia meluangkan waktu yang bagi para hadirin tentu sangat berharga, yang telah bersedia mendengarkan pidato tanpa peralatan multimedia yang membosankan ini, saya memberikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Selamat siang. Terima kasih.

Catatan Kaki:

(12) Metode ini, student-centered learning (SCL), pernah ditawarkan UGM untuk menjadi metode pembelajaran di seluruh wilayahnya. Tawaran lain, yang menunjukkan semangat universitas ini untuk melakukan penemuan baru di dalam metode pembelajaran, adalah yang disebut STAR.


Daftar Pustaka

Budiman, Arief. 1976. Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan. Jakarta: Pustaka Jaya

Connor, Steven. 1990. Postmodernist Culture: An Introduction to Theories of the Contemporary. Oxford: Basil Blackwell

Descartes, Rene. 1995. Risalah tentang Metode. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ida Sundari Husen dan Rahayu S. Hidayat. Jakarta: Gramedia

Djoko Damono, Sapardi. 1978. Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Eneste, Pamusuk (ed.). 1982. Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta: Gramedia

Esten, Mursal (ed.). 1988. Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan. Bandung: Angkasa

Foulcher, Keith and Day, Tony. 2002. Clearing a Space: Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature. Leiden: KITLV Press

Gramscy, Antonio. 1987. Selections from the Prison Notebooks. New York: Information Publishers.

Heryanto, Ariel. 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali

Jauss, Hans Robert. 1983. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press

Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan

------. 1983. Resepsi Sastra. Jakarta: Gramedia

Kayam, Umar. 1982. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan

------. 2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta: Gama Media

Kuhn, Thomas. 1989. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Tjun Sudjarman. Jakarta: Remaja Karya

Kuntara Wiryamartana, I. 1990. Arjunawiwaha. Yogyakarta: Duta Wacana University Press

Lyotard, Jean-Francois. 1992. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Oxford: Manchester University Press

McLuhan, Marshall. 1964. “The Medium is the Message”. In Understanding Media: The Extension of Man. New York: New American Library

Ong, Walter J. 1986. Orality and Literacy: The Technologizing of the Word. London and New York: Methuen

Poster, Mark. 2004. The Mode of Information: Poststructuralism and Social Context. Cambridge: Polity Press

Saad, Saleh. 1967. “Tjatatan Ketjil Sekitar Penelitian Kesusastraan.” Dalam Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (ed.). Bahasa dan Kesusastraan Indonesia sebagai Tjermin Manusia Indonesia Baru. Jakarta: Gunung Agung

Samboja, Asep S., dkk. (eds.). 2001. Cyber Graffiti: Kumpulan Esai. Bandung: Angkasa

Sarup, Madan. 1989. An Introductory Guide to Poststructuralism and Postmodernism. Athens: The University of Georgia Press

Swan, Karen and Meskill, Carla. 2011. “Multimedia and Response-Based Literature teaching and Learning: A Critical Review of Commercial Applications. Downloaded from http://cela.albany.edu/reports/swanmultimediareview.pdf

Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya

------. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia

------. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya

------. 1994. Indonesia: Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya

Wellek, Rene and Austin Warren. 1968. Theory of Literature. Harmondsworth: Penguin Books

Yayasan Multimedia Sastra. 2001. Graffiti Graffiti. Bandung Angkasa

Riwayat Hidup

Prof. Dr. Faruk, S.U. dilahirkan di Banjarmasin pada 10 Februari 1957. Tamat Sekolah Dasar Negeri Swadesi Banjarmasin pada tahun 1969 dan Sekolah Menengah Pertama Negeri II Banjarmasin pada tahun 1972. Melanjutkan Sekolah Menengah Atas Negeri I Banjarmasin dan lulus pada tahun 1975. Pada tahun 1976 melanjutkan studi ke Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, dan memperoleh gelar sarjana tahun 1981. Pada tahun 1983 mulai bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Sastra Indonesia dan mendapat kesempatan melanjutkan studi ke jenjang S2 di Universitas Gadjah Mada yang dapat diselesaikan pada tahun 1988 dengan memperoleh gelar Sarjana Utama (S.U.). Pada tahun 1989 mendapatkan beasiswa BPPS untuk melanjutkan studi ke jenjang S3 dan berhasil mendapatkan gelar Doktor (Dr.) pada tahun 1994. Selain menjadi staf pengajar di Jurusan Sastra Indonesia Prof. Dr. Faruk, S.U. juga pernah menjabat beberapa posisi penting anatara lain     Staf Peneliti pada Pusat Studi Kebuadayaan UGM (1984—1999), Pejabat Sementara Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM (2000), Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM (2001—2003), Pejabat Sementara Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM (2003—2005), serta menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Korea (2007—2009). Selama menjadi staf Jurusan Sastra Indonesia, Prof. Dr. Faruk, S.U. telah menghasilkan banyak karya ilmiah diantaranya:


2010

Pengantar Sosiologi Sastra edisi Revisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

2007
“Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni & Resistensi dalam Sastra Indonesia”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

2005
Postcolonial Condition of Indonesian novels. A Research Report for The Toyota Foundation (Unpublished)

Pengantar Sosiologi Sastra. Cetakan III. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

2004
“Kontradiksi, Ironi, dan Keterbatasan Manusia Post-modern di Indonesia: Bacaan Apresiatif-
Kritis terhadap Cala Ibi karya Nukila Amal”. Dimuat dalam Ibda’: Jurnal Studi Islam dan Budaya. Purwokerto: Sekolah Tinggi Islam Negeri Purwokerto

“Remajinasi Kebangsaan dan Negara Bangsa serta Peran Seni Di dalamnya”. Dimuat dalam Atmosudiro, dkk (eds.) Mempertanyakan Jati Diri Bangsa. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Hanya Inul. Penerbit Galang. Yogyakarta

2002
Novel-novel Indonesia Tradisi Balai Pustaka: Yogyakarta: Gama Media

2001
Beyond Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi: Yogyakarta: Gama Media

“The Power of Letter”. In Action and Reflection: Experiences of Globalitation in Asia. Tokyo:
International House of Japan and Japan Foundation Asia Center

2000
Women-womeni Lupus. Yogyakarta: Indonesia Tera

Kritik Sastra Tionghoa: Persoalan Etnis dan Ras. Yogyakarta: Indonesia Tera

1999
Hilangnya Pesona Dunia: Siti Nurbaya, Budaya Minang, dan Struktur Sosial Kolonial. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia

“Harga Sebuah Kepekaan dan Suara Sang Lain”. Pengantar untuk Dirdjosanjoto. Memelihara
Umat: Kyai Pesantren-Kyai Langgar di Jawa. Yogyakarta: Lkis

Pengalaman, Kesaksian, dan Refleksi kehidupan Mahasiswa di Yogyakarta: Hasil Penelitian tentang Hubunagn Antaretnis dan Antariman di Kalangan Mahasiswa di Yogyakarta. Yogyakarta: Interfidei

Metode ini, student-centered learning (SCL), pernah ditawarkan UGM untuk menjadi metode pembelajaran di seluruh wilayahnya. Tawaran lain, yang menunjukkan semangat universitas ini untuk melakukan penemuan baru di dalam metode pembelajaran, adalah yang disebut STAR.
*) Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB), UGM