Teater Api Surabaya Gelar Pertunjukan di Palu
Sebuah teater dengan judul " Brongkos " dipertunjukkan di Golni Taman Budaya Palu Sulawesi Tengah. Adalah Teater Api yang dengan apik memainkan lakon tersebut. Komunitas teater yang berdiri sejak 30 Juli 1993 ini berusaha mengangkat realitas masyarakat yang diperbudak oleh perkembangan zaman. Bahkan, Brongkos ingin menunjukkan bahwa dunia ini palsu, tidak berotak dan tidak punya nyali.
Lakon tersebut Berlatar di rumah sakit jiwa. Orang-orang gila yang diperbudak oleh moderenitas. Beberapa orang menjadi manekin, yang melambangkan moderenitas itu. Ada sebuah manekin wanita yang duduk di ayunan dengan menggunakan gaun merah. Nampak anggun, namun berkuasa.
Kemudian, beberapa orang memainkan lakon sebagai manusia yang tak berotak. Menuruti apa saja yang diinginkan sang sang penguasa. Ada yang mencoba memberontak, namun tak cukup mampu untuk melakukannya
Brongkos, secara umum sulit untuk diterjemahkan bagi orang awam. Luhur Kayungga sebagai sutradara mencoba menggunakan berbagai simbol yang mampu menggambarkan pesan yang ingin disampaikan. Setelah menyaksikan pertunjukan tersebut, dan kemudian mendengarkan diskusi yang dilaksanakan sesudahnya, penonton akan semakin jelas dengan maksud dari pertunjukan tersebut. Bahkan semakin merasa takjub dengan lakon yang dimainkan dalam Brongkos.
Dalam workshop Teater Api yang dilaksakanan sehari sebelum pertunjukan Luhur Kayungga, selaku sutradara sekaligus pemateri utama menyampaikan materinya seperti ini: Dalam dunia. Lebih khusus lagi di dalam dunia teater, tata artistik merupakan bagian penting dalam sebuah pementasan, selain lighting, penataan musik, dan permainan handal para aktornya. Tentu saja banyak kaidah yang harus dikenali dari berbagai macam bentuk atau aliran teaternya.
Dalam teater konvensional (realis), kita tidak hanya melakukan “peniruan“ terhadap realitas yang ada dalam kehidupan sehari-hari secara fisikal, lebih dari itu artistik harus peka menangkap dan menciptakan atmosfir sesuai kebutuhan dalam pementasan di panggung. Karena di dalam prosesnya kita mesti banyak mengenali realitas itu sendiri (terutama soal visual) atau seorang penata artistik harus mampu merekonstruksikan realitas yang dia tangkap untuk membangun sebuah realitas baru dalam sebuah pementasanya.Berbeda dengan teater non konvensional yang tidak hanya menyerap realitas–realitas seperti halnya teater konvensional dan membangun atmosfirnya, lebih dari itu juga ungkapan visualnya lebih cenderung dibungus dalam bentuk abstraksi yang lain lewat simbol, ikon, dan lain sebagainya.
Dalam teater konvensional (realis), kita tidak hanya melakukan “peniruan“ terhadap realitas yang ada dalam kehidupan sehari-hari secara fisikal, lebih dari itu artistik harus peka menangkap dan menciptakan atmosfir sesuai kebutuhan dalam pementasan di panggung. Karena di dalam prosesnya kita mesti banyak mengenali realitas itu sendiri (terutama soal visual) atau seorang penata artistik harus mampu merekonstruksikan realitas yang dia tangkap untuk membangun sebuah realitas baru dalam sebuah pementasanya.Berbeda dengan teater non konvensional yang tidak hanya menyerap realitas–realitas seperti halnya teater konvensional dan membangun atmosfirnya, lebih dari itu juga ungkapan visualnya lebih cenderung dibungus dalam bentuk abstraksi yang lain lewat simbol, ikon, dan lain sebagainya.
Sebagai catatan terakhir, sebuah gagasan, ide dan perencanaan yang telah kita susun mesti berhadapan lagi dengan realitas yang kita miliki seperti: tempat pertunjukkan, properti yang kadang justru diluar perencanaan dan diluar dugaan kita.
Apapun realitasnya mesti kita hadapi sebagai bagian dari dinamika untuk menyusun realitas baru : REALITAS GAGASAN DALAM KARYA.
Post a Comment