" TOMANURUNG DI TANAH LUWU "
Oleh Nawawi S. Kilat
Sebahagian orang kadang mengungkapkan
bahwa, To Manurung sering diartikan sebagai turunan dari kayangan dan
ditakdirkan untuk memerintah manusia dimuka bumi. Tidak sedikit orang
mengungkapkan bahwa To Manurung itu bukanlah manusia sejarah, atau hanya
merupakan mitos belaka, akan tetapi penulis lontara dan para petutur di
zanan luwu purba di Wotu ketika itu masih terletak disekitar ussu dan
bilassa lamoa (kebun dewata) mengungkapkan bahwa raja pertama disebut To
Manuru , hal ini disebabkan oleh karena tidak diketahui darimana
kedatangannya demikian pula menghilangnya. Jadi sebenarnya oleh
masyarakatnya dia dianggap sebagai manusia surgawi atau wija polamoa
(berbeda dengan tradisi-tradisi jawa) tetapi diakui sebagai orang yang
datang dan mempunyai kepintaran dan keahlian. Seorang To Manurung
(orang Asing) kadang diangkat sebagai raja (belum tentu raja pertama)
oleh karena beberapa alasan antara lain:
b. Karena kehebatan dari pribadi sang pendatang.
c. Karena alasan politik untuk mempersatukan wilayah.
Dapat
disimpulkan bahwa nama ToManurung adalah sebenarnya gelaran yang
diberikan kemudian oleh turunan dan masyarakatmya pada seorang tokoh
sejarah dari suatu kerajaan yang kadangkala di mitoskan sebagai turunan
dari kayangan. Pada umumnya orang sulawesi utamanya orang Luwu mempunyai
silsilah baik tertulis maupun tidak yang dihapalkan secara turun
temurun.Biasanya pada pertemuan-pertemuan keluarga atau antar keluarga,
unpamanya dalam peristiwa peminangan atau pesta-pesta, ungkapan silsilah
saling dicocokan kembali oleh para pengatur masyarakat atau para ahli
silsilah. Dengan cara-cara ini kebenaran silsilah dapat dipertahankan.
Disamping itu silsilah-silsilah masih terdapat cerita-cerita rakyat yang
disebut Sinrilli atau Tolo. Kedua duanya adalah cerita-cerita
kepahlawanan dan peperangan yang pernah terjadi. Sinrilli dan tolo
adalah cerita fakta manusiawi yang bebas dari campur tangan tokoh-tokoh
kayangan.
TEMPAT TO MANURUNG TANAH LUWU
Dari cerita tentang To Manurung, bagi
masyarakat Sulawesi Selatan dan Tenggara telah banyak ditulis, baik
penulis penulis sejarah dalam negeri naupun luar negeri utama nya
Belanda, dan terakhir sastrawan negeri jiran Arenawati yaitu “ Silsilah
Kerajaan Bugis dan Melayu” dimana disebutkan, raja raja nusantara dan
semenanjung berasal dari Luwu Sulawesi Selatan yaitu keturunan dari La
Maddusala (ejaan malayu La Maddusalat) antara lain hampir seluruh
kerajaan disemananjung Malaysia dan Nusantara. Sebagaimana umumnya
orang mengeketahui bahwa kedatuan Luwu atau kerajaan Luwu memiliki
sejarah yang sangat panjang, luas wilayah, sisten pemerintahan,asal
muasal darimana berasal pangkal awalnya sang tokoh (To Manurung) masih
terjadi perdebatan panjang dan tidak pernah selesai. Nomenklatur “Luwu”
atau Luwuq belum ada kesepakatan, tetapi secara pasti oleh orang Wotu
tempat muasal sang tokoh menyebut Luwu sebagai Luwo yang berasal dari
kata “LU” yang berarti sangat luas hal ini dapat dibuktikan bahwa luas
wilayah Luwu purba memang sangat luas, terdampar hampir seluruh daratan
sulawesi. Suatu hal yang sulit terbantahkan dan hampir telah menjadi
kesepakatan bahwa To Manurung Tanah Luwu adalah Sawerigading. Orang Luwu
percaya ia turun kedunia dianggap membawa rahmat bagi keselamatan
kemakmuran dan kesejahteraan. Hanya kadang sangat disayangkan dan sering
terjadi silang pendapat utamanya para etnis yang ada di Luwu ada yang
terang terangan mengklaim bahwa dirinya atau clennya yang yang pewaris
luwu atau wija sawerigading sementara yang lain adalah tidak sehingga
kelompoknya yang berhak berbicara tentang Luwu dan kelompok lain tidak
utamanya tentang adat istiadat., padahal bila kita mau mengkajinya
secara obyektif mereka semua keturunan atau wija asselinna Luwu, tidak
ada yang dapat mengklaim kelompoknya yang wija to Luwu asli karena yang
membedakannya adalah fase atau waktu saja, hal ini dapat dilihat dari
sudut dimana dan kapan Ware (pusat penerintahan kerajaan Luwu berpusat)
dalan catatan sejarah dapat memberikan kepada kita gambaran masa dimana
Ware Pertama sampai Ware Kelima.,
1.Ware.Pertama. Dimulai
pada akhir abad ke IX dan memasuki abad keX masehi sampai pada abad ke
XIII, dikenal sebagai fase Luwu purba berlangsung kurang lebih 300 tahun
lamanya. Pusat kerajaan (Ware) masih di sekitar Wotu lama sampai
runtuhnya kerajaan luwu pertama, Wotu lama sebagian pindah Wotu
sekarang, sebagian pindah atau hijrah orang Wotu menyebutmya cerrea
(orang bugis menyebutnya cerekang) dan sebagian menetap disekitar
lampia. Kota Malili belum dikenal karena nanti disekitar abad ke XIII
barulah ada yaitu pada saat datangnya orang bugis diLuwu.Sebagian
penduduk masih menetap dan sebagian lagi mengikuti Datu atau Raja Luwu
Anakaji.
2.Ware Kedua. Dimulai
pada abad ke XIV masehi ware (pusat penerintahan) berada di Mancapai ,
dekat Lelewaru diselatan Danau Towuti pada masa pemerintahan Raja
Anakaji.
3.Ware Ketiga Dimulai
disekitar abad ke XV Masehi. Ware (pusat kerajaan) berada di Kamanre,
ditepi Sungai Noling sekitar 50 km selatan Kota Palopo Rajanya dikenal;
sebagai Dewaraja.
4. Ware Keempat Dimulai
pada abad ke XVI Masehi pusat kedatuan Luwu (ware) di pindahkan ke Pao,
di Pattimang Malangke dan disini peristiwa besar tercatat yaitu masuknya
agama Islam di tanah Luwu.
5. Ware Kelima Dimulai ketika memasuki abad ke XVII Malangke menjadi surut sehingga Ware berpindah ke Palopo sampai dengan sekarang.
Jika kita menyimak catatan perjalanan
ware diatas, maka tidak ada satu kelompokpun yang dapat mengklaim
dirinya sebagai peduduk asli Luwu dan berhak menyebut alenami
tomatase”na Luwu karena semua suku bangsa berdasarkan adat Luwu adalah
penduduk asli Luwu dan berkewajiban mematuhi siapapun yang menjadi Datu
ri Luwu. Orang Wotu termasuk Pamona,To padoe (mori) dan Tolaki tidak
bisa dipungkiri sebagai penduduk luwu purba abad X, tidak bisa juga
mengklaim bahwa dialah penduduk asli Luwu. Walaupun diakui bahwa mereka
adalah pewaris Macoa.Orang Palopo dan sekitarnya tidak dapat juga
mengklaim bahwa hanya merekalah peduduk asli Luwu walaupun mereka
memangku jabatan adat pada masa ware terakhir sampai sekarang,
disisilain tidak dapat pula dikesampingkan peran pada masa ware
kedua,ketiga dan keempat, semua memiliki peran yang sama, hanya waktulah
yang membedakannya.semuanya keturunan para tomanurung,…
( Penulis adalah wakil Ketua Kerukunan Keluarga Luwu Raya Sulawesi Tengah)
Post a Comment