Tuhfat Al-Nafis
Penulis : Virginia Matheson Hooker.
Penerbit : Yayasan Karyawan bekerjasama dengan Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur.
Catakan : Pertama, tahun 1998.
Tebal : 611 halaman.
Secara keseluruhan, buku ini berisi tentang: catatan ketua editor, latar belakang pengkaji teks, singkatan, pengenalan, perbandingan manuskrip, teks Tuhfat al-Nafis, bacaan varian, takrif kata, bahan rujukan, dan indeks. Tampaknya, perlu diketahui bahwa manuskrip Tuhfat al-Nafis ada dua versi, yaitu versi pendek dan versi panjang. Versi yang pendek (88.000 kata) adalah karya Raja Ahmad. Manuskrip ini disalin pada tahun 1896 dari koleksi Yang Dipertuan Muda Riau pada waktu itu. Sedangkan, versi yang panjang (126.000 kata) adalah karya Raja Ali Haji (Virginia Matheson Hookor, 1998: xx dan xxvi). Versi panjanglah yang dikaji oleh Virginia Matheson Hooker dalam buku ini. Isinya adalah kesejarahan tentang: Kerajaan Riau-Lingga yang wilayahnya meliputi bagian selatan Semenanjung Melayu, termasuk Singapura, Batam, Bintan, Karimun, Singkep, Lingga; Kerajaan Malaka yang wilayahnya meliputi: Pahang, Selangor, dan Johor; dan raja-raja Melayu-Bugis beserta keturunannya di berbagai daerah tersebut, baik karena hubungan darah (genealogis) maupun hubungan perkawinan dengan orang Kedah, Perak, Trengganu, Siak, Kalimantan, dan lain sebagainya.
Cakupan konsepsinya yang luas, teknik penyampaian naratifnya yang teliti, kronologinya yang horisontal (beberapa kisah diceritakan secara serentak) dengan menggunakan sumber sejarah lokal (misalnya, Sejarah Siak digunakan untuk mendapatkan data dan informasi tentang kerajaan Siak; dan Sejarah Pontianak digunakan untuk mendapatkan data dan informasi tentang Kalimantan Barat); dan gaya bahasanya yang mudah dicerna; pada gilirannya membuat Tuhfat al-Nafis merupakan karya sejarah Melayu yang paling kompleks dan mendalam dibandingkan dengan semua karya Melayu yang dikarang sebelum abad kedua puluh. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Tuhfat al-Nafis sering dijadikan rujukan dalam penulisan sejarah Melayu.
Orang Melayu boleh berbangga karena pada masa lampau memiliki seorang pujangga besar yang telah melahirkan karya agung, Tuhfat al-Nafis. Sebuah karya sastra sejarah yang membuat orang terkagum-kagum karena dibuat secara profesional, sehingga tidak mengherankan jika Taufik Ismail, dalam suatu kesempatan, mengatakan bahwa sumbangsih Raja Ali Haji tidaklah kalah dari apa yang telah diberikan oleh tiga orang Pahlawan Nasional dari Riau (Tuanku Tambusai, Sultan Syarif Kasim II, dan Raja Haji Fisabilillah). Kalau tiga orang Pahlawan Nasional yang sudah dikukuhkan tersebut banyak bergerak dalam dimensi perjuangan fisik, maka Raja Ali Haji banyak bergerak dalam bidang pencerahan dan pencerdasan. Dia tidak berperang menghunus pedang, atau memberikan sumbangan materi bagi masyarakatnya, tetapi dengan keintelektualannya (karya-karya tulisnya). Karya-karya tulisnya yang kemudian melintasi zaman diakui oleh filsuf barat Francis Bacon. “Manusia boleh mati, tetapi ia bisa memperpanjang umurnya, jika ia meninggalkan sesuatu yang 'abadi', yaitu sebuah karya”, kata Francis Bacon. Karya inilah yang bisa membuat seorang anak manusia dapat lebih bertahan ketika melawan waktu. Bacon lebih jauh mengatakan bahwa sebuah karya atau monumen yang terbuat dari pengetahuan dan kearifan memiliki kemungkinan bertahan lebih besar dari hasil-hasil karya yang lain, semisal berupa monumen, istana, candi, ataupun sebuah kota.
Hal ini artinya bahwa kita semua mewarisi berbagai hal yang "besar" di negeri ini, yaitu: sejarah yang besar, potensi yang besar, dan tradisi intelektual yang besar. Kesemua itu harus kita lanjutkan dengan semangat yang besar sehingga memberi arti yang besar pula bagi kita semua. Kita berhutang pada sejarah, dan kita akan menjadi sebuah generasi yang gagal, jika kita tak mampu berbuat sama atau jika tidak lebih besar dari masa lampau.
Andai setiap generasi di Riau dapat meneguhkan kecemerlangan pada zamannya masing-masing, maka negeri ini akan menjadi sebuah negeri yang berbahagia dan sejahtera. Untuk mendapatkan itu, dan untuk dapat membayar hutang keagungan masa silam, tentu saja kita harus bekerja keras. Sehingga sejarah Riau pada akhirnya akan menjadi sebuah sejarah seperti yang disebut oleh Mackenzie, yaitu sebagai catatan yang berisi kemajuan secara terus-menerus yang lahir dari kekuatan intelektual. Untuk itu, Al Azhar, dalam “Temu Sastra se-Riau Tahun 1999” di Pekanbaru, mengatakan bahwa tidak mengherankan jika Raja Ali Haji menjadi tokoh kawasan Melayu yang paling banyak dikaji oleh para pakar, baik pakar bahasa, sastra, maupun kebudayaan. Hampir semua pakar tersebut memiliki sebuah kesepakatan bahwa Raja Ali Haji merupakan tonggak penting bagi kesusastraan Indonesia. Senada dengan itu, penyair Sutardji Calzoum Bachri juga menegaskan bahwa bila tradisi sastra Indonesia modern bermula dari tahun 1920-an, yaitu pada masa pra-Pujangga Baru dan Pujangga Baru, maka tradisi sastra di Riau satu abad lebih dahulu tumbuh dan bergemilang sedemikian rupa. Kemampuan Raja Ali Haji menukilkan sejarah sastra yang cemerlang dan sangat fundamental menjadikan karyanya sebagai puncak sastra.
Namun demikian, bukan berarti bahwa Tuhfat al-Nafis tidak lepas dari kekurangan atau kelemahan. Satu hal yang membuat buku Tuhfat al-Nafis ini masih kurang sempurna adalah yang dipaparkan dalam buku tersebut “hanya” raja-raja Melayu-Bugis dan keturunannya. Sementara, raja-raja Melayu non-Bugis beserta keturunannya kurang mendapat tempat yang semestinya, kalau tidak dapat dikatakan sebagai hal yang diabaikan. (ali gufron)
Sumber:
Hooker, Virginia Matheson. 1989. Tuhfat al-Nafis: Sejarah Melayu-Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hooker, Virginia Matheson. 1989. Tuhfat al-Nafis: Sejarah Melayu-Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
http://upload.wikimedia.org
Post a Comment